BALI – Suasana siang yang tenang di Denpasar pada Senin, 13 Oktober 2025, justru diwarnai oleh sebuah pertemuan penuh harap. Bertempat di kediaman Pembina Setya Kita Pancasila (SKP) DPW Provinsi Bali, organisasi tersebut menerima kunjungan khusus dari warga pengempon (pengurus) Pura Paibon Bingin Ambe, Banjar Titih Kaler, Desa Adat Denpasar.
Kedatangan mereka membawa satu persoalan mendesak: akses jalan utama (pemedal) menuju pura yang secara tiba-tiba ditutup dengan tembok oleh segelintir warga.
Peristiwa penutupan akses ke tempat suci ini tidak hanya menyentuh ranah sosial, tetapi juga menyentuh hati nurani dan spiritualitas masyarakat Hindu Bali, di mana pura adalah jantung kehidupan beragama. Pertemuan ini menjadi bukti nyata upaya mencari penyelesaian secara elegan dan bermartabat.

Pertemuan koordinasi ini dihadiri oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap kelangsungan kehidupan beragama.
Tampak hadir Kelian (Kepala) Pura Paibon Bingin Ambe beserta sejumlah perwakilan keluarga pengempon pura yang merasakan langsung dampak dari penutupan akses tersebut.
Tidak hanya itu, untuk menunjukkan dukungan dan solidaritas sosial yang kental, turut hadir perwakilan dari Desa Adat Pagan, Desa Adat Jimbaran, dan Desa Adat Pemogan, serta tentunya perwakilan dari Banjar Titih Kaler sendiri. Kehadiran mereka menegaskan bahwa masalah ini adalah persoalan bersama yang memerlukan kebijaksanaan kolektif.
Dari pihak Setya Kita Pancasila Bali, pertemuan ini dihadiri langsung oleh Pembina dan Penasehat SKP DPW Bali, yang dengan tangan terbuka mendengarkan segala keluh kesah dan paparan dari warga.
Kehadiran SKP sebagai organisasi yang berlandaskan Pancasila dinilai tepat untuk menjadi fasilitator dan mediator dalam mencari solusi yang adil dan beradab.

Setelah melalui dialog yang intens dan penuh empati, pertemuan ini berhasil merumuskan beberapa langkah strategis sebagai titik terang awal. Poin-poin kesepakatan tersebut adalah:
1. Memohon Restu Spiritual (Mepiuning): Sebelum mengambil langkah lebih lanjut, para pengempon Pura Paibon Bingin Ambe diharapkan untuk melakukan ritual mepiuning memohon petunjuk dan restu dari Ida Sesuhunan (Dewa yang berstana) di Pura Paibon Bingin Ambe.
Langkah ini menekankan bahwa setiap usaha penyelesaian harus dilandasi dengan kesucian niat dan spiritualitas, sesuai dengan budaya dan adat Bali.
2. Turun Langsung ke Lapangan: Komitmen nyata SKP diwujudkan dengan rencana untuk segera melakukan kunjungan lapangan.
Tim akan turun langsung ke lokasi Pura Paibon Bingin Ambe untuk mengamati, mendokumentasikan, dan memahami secara visual serta kontekstual kondisi dan situasi yang sebenarnya. Hal ini dinilai penting untuk mengambil keputusan yang tepat dan berbasis data.
3. Pemetaan Opsi Solusi: Meski belum sampai pada keputusan final, pertemuan ini telah berhasil memetakan beberapa opsi solusi yang mungkin dapat diterapkan.
Meski rinciannya belum diungkap ke publik, pemetaan ini menunjukkan bahwa proses penyelesaian telah bergerak ke arah yang lebih konkret dan terstruktur.
Dalam pernyataannya yang dikutip melalui sebuah tulisan, Gde Oka Yudara, Ketua DPW SKP Provinsi Bali, menyampaikan optimisme yang dalam.
“Demikian giat SKP DPW Bali hari ini. Semoga dengan restu semesta dan dilandasi semangat Bani Tuyuh Ngayah akan mendapat jalan keluar terbaik,” tulisnya.
Frasa “Bani Tuyuh Ngayah” yang diselipkan mengandung makna filosofis yang mendalam, menggambarkan semangat gotong royong dan pengabdian tanpa pamrih, sebuah nilai luhur yang diharapkan dapat menyatukan semua pihak untuk bersatu mengatasi masalah ini.
Dengan ditutupnya salam khas SKP, “Salam Rahayu, Salam Setya Kita Pancasila”, pertemuan ini bukan hanya sekadar rapat koordinasi, tetapi sebuah ikrar untuk menjaga kerukunan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya di tanah Bali.

Mengapa Kisah Ini Penting?
Konflik terkait akses jalan ke pura bukanlah hal baru di Bali, namun seringkali menyimpan kompleksitas sosial dan budaya yang dalam.
Penyelesaiannya memerlukan pendekatan yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga penuh kearifan lokal, menjaga tali persaudaraan (menyama-braya), dan tentunya tidak melupakan aspek spiritual yang menjadi fondasi utama.
Kehadiran Setya Kita Pancasila dalam peran mediasi ini juga menjadi contoh nyata bagaimana nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dapat diimplementasikan secara langsung untuk meredakan ketegangan dan membangun jembatan dialog di tengah masyarakat.
Masyarakat kini menanti tindak lanjut dari komitmen ini, berharap agar jalan menuju Pura Paibon Bingin Ambe segera dibuka kembali, sehingga umat dapat dengan leluasa menjalankan ibadah dan menjaga warisan leluhur dengan tenang dan damai.
(Grd)
