MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN – Gelombang tuntutan keadilan warga Tanjung Enim terhadap PT Bukit Asam Tbk (PTBA) kian mengkristal. Di tengah bergulirnya gugatan sengketa lahan di pengadilan, muncul tuntutan simbolis: “Kami ingin putra asli Tanjung Enim memimpin PTBA” Seruan ini mencerminkan kekecewaan puluhan tahun atas keterpinggiran masyarakat lokal dalam pengelolaan tambang batubara di tanah leluhur mereka.

Warga menceritakan ironi pahit: “Zaman Belanda, listrik dari tambang ini gratis untuk kami. Sekarang? Kami bayar mahal sambil menghirup debu batubara setiap hari,” ujar Mariam (45), warga terdampak debu.
Hamparan kebun durian dan duku warisan nenek moyang telah berganti lubang tambang menganga dan kolam beracun, tanpa pemulihan memadai.
“Belum ada putra Tanjung Enim pernah pimpin PTBA. Kami hanya penonton di kampung sendiri,” tegas Arifin (38), menyoroti ketiadaan representasi lokal di jajaran direksi BUMN tersebut.
Dua Front Perjuangan: Meja Hijau & Kantor DPRD
Konflik mencapai titik panas di dua arena, Gugatan Robert Aritonang & Polinawaty di PN Muara Enim
Sidang pembuktian gugatan lahan 66,72 hektare melawan PTBA dan PT Bumi Sawindo Permai (BSP) kembali digelar (14/4/2025). Pasangan ini menuntut:
Putusan Provisi penghentian sementara aktivitas tambang dan penggusuran di lahan sengketa (Desa Darmo, Lawang Kidul).
“Hentikan pekerjaan di lahan kami! Hormati proses hukum!” desak Polinawaty di depan Pengadilan Negeri Muara Enim.
Kuasa hukum penggugat, Sabar Ompu Sunggu, mengecam pelanggaran status quo: “Ini intimidasi Bisa picu pertumpahan darah!” dan mendesak intervensi Presiden Prabowo dan MenBUMN Erick Thohir.
Sebagaimana Dilansir dari Remol Sumsel PT BSP melalui kuasa hukumnya, Dr. Firmansyah, menyatakan akan menanggapi permohonan provisi setelah mempelajari bukti. Sidang pembuktian tergugat dijadwalkan 21 April 2025.
Di luar kasus Robert-Polinawaty, ratusan kepala keluarga (KK) di Desa Darmo menghadap Komisi I DPRD Muara Enim (3/2/2025).
“300 KK terdampak, hampir seluruh Desa Darmo habis jadi tambang. Ganti rugi tak jelas sejak 2023” protes Sulbahri, juru bicara warga.
Mereka menuntut kejelasan ganti rugi lahan/kebun di wilayah Bangko Tengah Blok B sebelum aktivitas tambang meluas.
Ketua BPD Desa Darmo, Herlanudin, mendampingi warga menekankan urgensi penyelesaian: “Perusahaan sudah mulai bekerja di sekitar lahan warga. Resah kami makin menjadi.”
Warga Tanjung Enim menegaskan perjuangan mereka bukan sekadar ganti rugi materi: 1. Pemulihan Lingkungan: Reklamasi lahan bekas tambang (void) yang berdampak pada ekosistem dan kesehatan. 2. Pengakuan Identitas: Pembangunan tidak boleh menghapus sejarah dan hak sosio-kultural masyarakat adat/lokal. 3. Keterwakilan Nyata: “Sudah waktunya putra terbaik Tanjung Enim memimpin PTBA. Kami ingin jadi tuan di tanah sendiri”
4. Distribusi Manfaat Adil: Masyarakat harus merasakan kemakmuran dari kekayaan alam yang dikorbankan.
Tanjung Enim memiliki hubungan yang sangat erat dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA). PTBA adalah perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia, dengan wilayah operasional utama di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
(Remol/grd)