Oleh Mohamad Sinal
Menjelang pelantikan pada bulan Februari 2025 ini, mampukah gubernur, walikota, dan bupati baru meneladani kepemimpinan Shalahuddin? Menjadi pemimpin yang dihormati, bukan ditakuti. Menjaga amanah kemenangan di kotak suara dan dalam hati rakyat yang dipimpinnya.
Shalahuddin Al-Ayyubi, sang ksatria tidak hanya menang di medan perang, tetapi juga dalam hati manusia. Ia adalah lambang bahwa kejayaan sejati bukan hanya dalam meraih takhta. Namun, meninggalkan warisan keadilan, kasih sayang, dan kebesaran jiwa yang akan terus dikenang selamanya.
Di bawah langit yang membentang luas. Di antara padang pasir yang diterpa angin sejarah, nama Shalahuddin Al-Ayyubi terus menggema. Ia bukan hanya seorang panglima perang dan penguasa yang menaklukkan negeri-negeri jauh.
Ia adalah bayangan keadilan yang bergerak di medan pertempuran. Cahaya kasih yang bersinar dalam pekatnya perselisihan. Cermin diri, bagi mereka yang mencintai keadilan dan kemanusiaan
Di kancah Perang Salib, saat darah mengalir di tanah yang diperebutkan banyak bangsa, Shalahuddin muncul bukan sebagai penguasa kejam yang haus kekuasaan. Ia berdiri sebagai seorang ksatria sejati, yang mana pedangnya hanya terhunus untuk keadilan. Hatinya tetap terikat pada nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Tatkala Yerusalem jatuh ke tangannya pada tahun 1187, ia tidak membiarkan kota itu menjadi lautan balas dendam. Tidak ada lagi peristiwa pembantaian. Tidak ada pekikan kesakitan dari orang-orang yang menyerah kalah.
Ia memilih jalan yang lebih tinggi. Jalan seorang pemimpin yang mengerti bahwa kemenangan sejati bukan hanya dalam menaklukkan lawan. Kemenangan sejati adalah bagaimana menaklukkan kebencian.
Shalahuddin Al-Ayyubi dan Kepemimpinan Lokal
Sejarah mencatat, betapa lawan-lawannya dari dunia Kristen pun mengakui keagungannya. Di antaranya, Richard the Lionheart, seorang raja yang dikenal sebagai singa di medan perang. Ia mengakui bahwa jika ada musuh yang pantas dihormati, tidak lain adalah Shalahuddin Al-Ayyubi.
Saat Richard jatuh sakit dalam perjalanan perang, Shalahuddin tidak melihatnya sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Sebaliknya, ia mengirim tabib terbaiknya. Ia juga menawarkan buah-buahan segar, serta obat-obatan agar raja itu segera pulih.
Betapa dunia takjub pada seorang pemimpin yang melihat kemanusiaan sebelum permusuhan. Ia memahami bahwa peperangan hanyalah bagian dari perjalanan sejarah. Adapun kebaikan merupakan warisan yang akan dikenang sepanjang masa.
Di saat banyak panglima memilih untuk berperang tanpa ampun, Shalahuddin memilih jalan yang berani. Jalan belas kasih, tanpa kehilangan ketegasan. Jalan keberanian, tanpa kehilangan nilai kemanusiaan.
Dalam setiap langkahnya, ia mengajarkan bahwa kehormatan tidak terletak pada jumlah musuh yang ditaklukkan. Namun, pada kebijaksanaan dalam memperlakukan lawan. Hal ini terbukti dalam setiap kebijakan yang diciptakaan.
Dalam setiap keputusannya, ia membuktikan bahwa kekuatan bukan hanya milik mereka yang memiliki pedang. Namun, juga mereka yang mampu mengendalikan amarahnya. Menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas segalanya.
Ia adalah ksatria yang melampaui batas agama dan budaya. Muslim, menghormatinya sebagai pemimpin yang adil dan bermartabat. Kristen Eropa, mengenangnya sebagai lawan yang terhormat.
Dalam dunia yang sering kali ternodai oleh kebencian, ia menjadi bukti bahwa perbedaan tidak harus melahirkan kehancuran. Perbedaan seharusnya dapat menjadi panggung bagi kebesaran jiwa. Bukan sebaliknya, dianggap panggung sandiwara.
Kini, berabad-abad telah berlalu sejak langkah-langkahnya terakhir kali menginjak pasir Timur Tengah. Namun, namanya tetap hidup, berbisik dalam angin sejarah. Terukir dalam hati mereka yang mendambakan dunia, di mana keberanian dan kebaikan dapat berdampingan.
Ia bukan sekadar sosok dalam buku sejarah. Ia adalah cahaya yang menerangi jalan para pemimpin sejati di masa depan. Tidak terkecuali, bagi pemimpin lokal di mana pun mereka berada.
Di era demokrasi modern, kemenangan dalam pemilihan kepala daerah menjadi tanda legitimasi kekuasaan. Namun, kemenangan di kotak suara hanyalah awal dari perjalanan panjang dalam memimpin. Tanpa legitimasi moral dan dukungan rakyat yang tulus, seorang pemimpin tidak akan benar-benar dihormati.
Dengan kata lain, seorang pemimpin yang hanya mengejar kemenangan dalam pemilu, akan mudah kehilangan kepercayaan rakyat. Begitu banyak pemimpin di belahan dunia yang akhirnya jatuh bukan karena kalah dalam pemilu. Namun mereka jatuh, karena kehilangan dukungan dari hati rakyatnya.
Bagi pemerintah daerah yang akan dilantik, ada pelajaran penting dari kepemimpinan Shalahuddin. Pertama, keberanian dalam membela kebenaran. Kedua, keadilan dalam setiap keputusan. Ketiga, belas kasih dan kedekatan dengan rakyat.
Benang merah dari ketiga pelajaran tersebut sebagai berikut. Pertama, seorang pemimpin hendaknya memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat, meskipun berisiko tidak populer di kalangan elite politik.
Kedua, kemenangan sejati tidak terletak pada jumlah proyek yang berhasil dieksekusi, tetapi pada seberapa adil kebijakan yang diterapkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, pemimpin yang baik bukan hanya dikenal melalui pidato atau citra media. Namun, melalui interaksi langsung dengan rakyat, mendengar keluhan mereka, dan bertindak berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Penulis adalah dosen Polinema, ahli bahasa hukum, dan founder Pena Hukum Nusantara (PHN).