Oleh: Fiam Mustamin
GURINDAM.ID- BETUL Kata orang, bahwa masa masa terindah dalam kehidupan itu di usia Sekolah Menengah Atas dan sederajatnya. Segala yang dilakoni terasa indah dan menyenangkan, tak ada rasa susah.
Inilah masa gita cinta itu.
Terlebih di kota besar, ibu kota provinsi ternama, Makassar di Kawasan Timur Indonesia.
Membayangkan kota Juppandang/Makassar orang Bugis menyebutnya. menjadi impian untuk mengunjunginya bagi setiap anak desa di tahun 1960 an hingga awal tahun
197O.
Saat itu, kami anak anak di desa di waktu liburan sekolah sering menyaksikan kedatangan anak anak remaja yang bermukim dan besekokah di kota Makassar.
Begitupun dengan Mahasiswa dan taruna AKABRI yang berseragam alma maternya yang datang berlibur.
Menjadi Anak Kota.
SAYA Beruntung yang di bayangkan jadi kenyataan, dapat melanjutkan ke pendidikan Sekolah Lanjutan Atas di Makssar di masa pergolakan Magasiswa membubarkan PKI dan meruntuhkan Kekuasan pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno.
Di SMA, saya bersahabat dua orang yaitu Baso Makkatang dari Turatea, sepupu dengan Syamsuddin Daeng Mangawing, pengusaha ternama, Konsulat Jenderal Swedia di Makassar, berunah di jalan Karunrung.
Sahabat yang satu, Mahmuddin dari Sidrap, adik ipar Rusdy Akib tokoh pergerakan aktivis Mahasiswa Angkatan 66
berumah di jalan Emy Saelan.
Dengan persahabatan itu menjadi awal penjelajahan keinginan untuk banyak tahu sebagai anak desa.
Saya menjadi familer dengan dua tokoh besar itu dari sub etnis Makassar dan sub etnis Bugis.
Di kota Makassar itu juga saya mengenal dari media surat khabar sejumlah orang orang penting dari seniman, budayawan dan wartawan antaranya; Mattulada, HB Mangemba, Hengky Rondonuhu, MN Syam, Ali Walangadi, Rahman Arge, Arsal Alhabsi, Husni Jamaluddin, Aspar Paturusi, Saleh Mallombasi, Ihsan Saleh, SA Yaimayu, Anwar Ibrahim, Indra Chandra, Djamaluddin Latif, Andi Nurhani Sapada, Ida Yusuf Madjid dan Munasiah NajamuddinDaeng Jinne.
Dari selebritas penyanyi, Rahman Syah, Iwan Tompo, Murtini dan Andi Miriem Mattalatta.
Seniwati pencipta tari, Andi WeTenrisau Sapada dan penari, Andi Mingke dan Risma Neswati.
Dari Desa Ke Kota.
SEMBARI Sekokah cari duit.
Saya jalani itu mengingat saya anak sulung dari lima bersaudara untuk kelangsungan sekokah adik adik yang sejak kecik tak berayah.
Saya menjadi leveransir surat khabar The Jakarta Times yang di ageni oleh bunda Darsiah nyonya ayahanda Rusdy Akib almarhum.
Dari bunda Darsiah yang baik hati ini memperlakukan saya sebagai keluarganya. karena itu saya dipercayakan mengawal/ jadi kenek mobil jeepnya untuk mengantar koleganya yang pindah tugas dari Jakarta ke kota Watsmpone.
Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan, mobil jeep landcruser buatan Amerika itu penuh dengan barang bawaan dan saya duduk diatas ban serep yang diikat di pintu belakang mobil.
Saya menikmati perjalanan di pegunungan yang berkelok menananjak, sayapun sesekali turun ke jalan pegang balok penyanggah ban, bila mobil berhenti tidak kuat menanjak.
Kami menyinggahi warung kopi dan rumah makan di sekitar daerah Camba Maros untuk mendinginkan mesin mobil.
Pemilik warung itu mengetahui kami membawakn penumpang, dan ia tidak mau menerima uang pembayaran, bahkan ia membekali kami rokok.
Perjalanan diteruskan melewati perbatasan Lappa Riaja/Lamuru, Maros dan Soppeng memasuki jalan berkelok ke Sumpang Labbu seperti permukaan terowongan membelah gunung wilayah Bone.
Di tempat itu menjadi pangkakan strategis para pejuang untuk menghadang dan menghalau pasukan Belanda yang akan memasuki wilayah Bone.
Beberapa saat kemudian. kami sampai di kota Watampone yang dikenal dengan warisan orang pemberani dan cerdas bijaksana, La Mellong to Suwalle Kajao Lalido Tau Tongeng Rigaunna di era pemerintahan kerajaan Bone.
Beranda inspirasi ciliwung 30 agustus 2021.