GURINDAM.ID- Di tengah simpang siur soal sumbangan Rp2 triliun dari keluarga pengusaha Sumsel untuk penanganan Covid19, kabar bahwa Muhammadiyah telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun mengemuka.
Publik yang kecewa karena dana Rp2 triliun itu ternyata belum jelas rimbanya lantas berusaha membanding-bandingkan.
Muhammadiyah disebut memberikan sumbangan nyata tanpa perlu seremoni yang gegap gempita, apalagi disertai ungkapan-ungkapan nyinyir khas buzzer: “Mana sumbangan pengusaha pribumi?” Atau “Sumbangan ini uang semua, lho, nggak pake pasir.”
Pasalnya, sejak rencana sumbangan Rp2 triliun dari keluarga Akidi Tio itu viral, muncul pihak-pihak yang lantas berusaha membentur-benturkan kelompok tertentu dengan kelompok lain.
Sambil mengglorifikasi bahwa Akidi Tio dan keluarganya bukan seorang Muslim dan beretnis Tionghoa. Ada yang bertanya, “Mana para ustadz yang suka menggalang dana, kok untuk Covid19 tidak ada?” Padahal banyak sekali gerakan umat untuk membantu pemulihan kesehatan maupun ekonomi akibat Covid19. Ada juga yang nyinyir mengatakan, “Ini pengusaha Tionghoa, mana pengusaha Pribumi?”
Jelas sekali framing dan penggiringan opini semacam ini sangat berbahaya untuk keutuhan bangsa. Dan kita sudah tahu siapa pelakunya.
Ada kelompok buzzer yang senang membentur-benturkan mayoritas dengan minoritas, mengglorifikasi etnis bahkan agama tertentu sambil mengemukakan sinisme berlebihan pada kelompok lain yang dikesankan bodoh, terbelakang, kampungan.
Itu tadi, narasi Pribumi-Tionghoa tiba-tiba muncul lagi, agama jadi kerap dipersoalkan dengan cara yang tidak proporsional.
Saya kira kita sepakat bahwa figur-figur publik yang mengembuskan narasi buruk semacam itu harus mulai kita jauhi bersama-sama. Memperkeruh percakapan publik kita dan terus-menerus melakukan pembelahan di tengah masyarakat.
Kita capek menyaksikannya, sekaligus muak mendapati konten-konten buruk berseliweran di linimasa media sosial kita. Publik jadi cenderung bertengkar, saling hina, saling nyinyir, tak terima jika yang lain lebih baik, tak ada lagi semangat berlomba-lomba dalam kebaikan.
Di sinilah persoalan kontribusi Muhammadiyah pada penanganan pandemi Covid19 yang dikabarkan sudah menyalurkan dana lebih dari Rp1 triliun menjadi buah bibir.
Seolah ‘tak terima’ dengan kerja konkret Muhammadiyah itu, seolah harus ada pihak yang berlawanan, muncul sejumlah pihak yang kontra pada Muhammadiyah. Menyebutnya ‘riya’, sombong, membesar-besarkan, dan seterusnya.
Padahal jelas sekali dana yang disalurkan Muhammadiyah konkret, bahkan sudah dirasakan langsung di tengah masyarakat, uang semua, nggak pake pasir.
Sejak pandemi menjadi persoalan yang memunculkan berbagai permasalahan turunannya, dari soal kesehatan sampai ekonomi, Muhammadiyah sudah bergerak. Melalui LazisMu, para donatur Muhammadiyah berhimpun menyalurkan dana, semua bisa dicek secara transparan dan dilaporkan secara publik.
Tidak hanya itu, Rumah Sakit Muhammadiyah pun menjadi yang terdepan menangani pasien-pasien Covid19. Ada 83 Rumah Sakit Muhammadiyah dari total 116 yang menangani pasien corona di seluruh Indonesia. Belum terhitung berapa klinik.
Melalui Muhammadiyah Covid19 Command Center (MCCC) Muhammadiyah pun mendirikan banyak rumah isolasi mandiri di berbagai daerah.
Selain ribuan dokter dan nakes Muhammadiyah, ada lebih dari 75.000 relawan kader Muhammadiyah yang bergerak menangani dampak pandemi.
Mulai dari bekerja mengantarkan obat dan vitamin untuk warga, hingga pemulasaraan dan penguburan jenazah korban Covid19. Mungkin Anda pernah melihat atau membaca berita viral bagaimana petugas MDMC Muhammadiyah memakamkan jenazah yang beragama Kristen beberapa waktu lalu?
Kurang lebih itulah wajah Muhammadiyah. Semua kerja kemanusiaan yang dilakukan tidak hanya dikhususkan untuk sesama warga Muhammadiyah, sesama Muslim, tetapi melintasi berbagai identitas. Tak peduli apapun etnisnya, agamanya, latar belakangnya, Muhammadiyah akan melayani siapapun, sesama anak bangsa, sesama manusia.
Kalau tidak percaya, pergilah ke RS PKU Muhammadiyah di manapun, ada banyak pasien dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda-beda itu di sana.
Cek Universitas-universitas Muhammadiyah, Anda tak hanya akan menemukan mahasiswa muslim di sana. Cek rumah-rumah isoman yang didirikan Muhammadiyah, isinya bukan hanya warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah sudah selesai dengan urusan-urusan perbedaan itu. Muhammadiyah bekerja melintasi sekat-sekat perbedaan.
Mungkin banyak pengusaha Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lainnya menyumbangkan dana lewat amal usaha Muhammadiyah, karena mereka percaya. Seperti banyak pula penerima manfaat dari kerja-kerja kemanusiaan Muhammadiyah bersifat multi-etnis dan multi-agama.
Bukan hanya Muhammadiyah, Aisyiyah pun melakukan kerja besar yang luar biasa. Melalui jaringan kaum ibu yang hingga pelosok desa, Aisyiyah melakukan kerja-kerja pendampingan, pemulihan sosial ekononi yang berfokus pada keluarga. Berapa valuenya? Saya tak berani menghitungnya. Dada saya bergetar menyaksikan perjuangan Ibu-ibu Aisyiyah itu.
Saya menulis artikel ini bukan dalam rangka mengglorifikasi apa yang dilakukan Muhammadiyah, apalagi bermaksud pamer atau sombong. Tetapi di tengah publik yang didorong untuk saling nyinyir dan saling curiga, saya kita kita punya tanggung jawab untuk menjelaskan secara terang benderang bahwa cara berpikir mereka yang partisan, membelah-belah, provokatif sungguh tidak berguna dan merusak bangsa ini.
Alih-alih saling menghakimi dan saling nyinyir, seharusnya yang kita lakukan adalah saling bantu dan saling jaga. Seandainya pun ada kompetisi, itu harus untuk semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat.
Karena sejatinya perbuatan baik untuk sesama manusia tidak pernah cukup, tidak pernah selesai, seperti pernyataan resmi Muhammadiyah saat dikonfirmasi soal total bantuan yang tersalurkan lebih dari Rp1 triliun itu, “Sesungguhnya apa yang kami lakukan masih jauh dari apa yang diamanatkan Kiai Ahmad Dahlan [pendiri Muhammadiyah].”
Semangat semacam inilah yang kita butuhkan di tengah pandemi. Semangat untuk berbuat bagi sesama. Semangat untuk saling bantu seberapa kecil atau besar pun itu. Bukan semangat untuk membeda-bedakan “Lihat, ini siapa yang menyumbang, yang lain mana?” Apalagi semangat untuk membentur-benturkan satu sama lain, seperti seorang buzzer yang tak tahan melihat berita Muhammadiyah sudah menyalurkan dana Rp1 triliun seraya berkata, “Yayasan Buddha Tzu Chi dan para konglomerat Tionghoa menyalurkan Rp500 miliar dalam sebulan, sampai sekarang sudah triliunan.”
Akhirnya, sampai kapan kita mau memelihara pikiran semacam itu? Pikiran yang terpecah, pikiran yang tak terima pada hal baik yang dilakukan orang lain, pikiran yang merusak bangsa dan negara ini.
Menangani pandemi tak bisa hanya mengandalkan pemerintah, semua pihak harus bersatu bahu-membahu. Seperti kata seorang dokter, “Masyarakat yang terpecah tak akan menang melawan virus yang bersatu!”
Tabik!