GURINDAM.ID- Keberhasilan Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap 67 kapal yang melakukan pelanggaran dan kejahatan perikanan dalam 3 bulan belakangan ini merupakan pencapaian positif.
Artinya, upaya pengawasan yang sempat kendur di era Menteri sebelumnya kini mulai diaktifkan kembali.
Namun demikian, KKP mesti memperluas ruang lingkup pengawasan bukan saja pada pelanggaran zona tapi pada jenis pelanggaran lainnya yang masih terjadi.
Hal itu disampaikan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DWF) Indonesia, Moh Abdi Suhufan dalam keterangan diterima Gurindam.id, Senin, (12/4/2021).
Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa pengawasan oleh KKP perlu dilakukan sejak kapal belum berangkat melakukan penangkapan ikan.
“Khusus untuk kapal ikan Indonesia, KKP perlu meningkatkan pengawasan sejak kapal masih berada di pelabuhan, bukan saja ketika kapal tersebut sedang melaut” kata Abdi.
Dirinya menambahkan saat ini masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan Indonesia yang belum sepenuhnya terungkap oleh aparat pengawasan KKP.
“indikasi pelanggaran terlihat dengan masih banyaknya kapal ikan yang melakukan praktik markdown, perizinan yang sudah mati, ketidakpatuhan menyampaikan laporan hasil tangkapan dan banyaknya pelabuhan tangkahan yang masih beroperasi,” kata Abdi.
Belum lagi masalah tata kelola kapal ikan dengan ukuran dibawah 30GT yang merupakan kewenangan daerah dan melakukan pelanggaran.
“Banyak kapal ikan dibawah 30GT beroperasi tanpa izin resmi, melakukan pelanggaran zona tangkap tapi luput dari pengawasan daerah maupun pusat,” urai Abdi.
Dirinya mendorong KKP melakukan operasi khusus untuk memeriksa dan memastikan semua kapal Indonesia yang melakukan penangkapan ikan sudah sesuai dengan ukuran kapal yang sebenarnya.
“Jika praktik markdown kapal bisa diatasi, akan memberikan manfaat ganda yaitu meningkatnya pendapatan negara dan perbaikan data kapal ikan,” kata Abdi.
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin menyoroti banyaknya pelabuhan tangkahan yang berpotensi menjadi tempat terjadinya praktik IUUF.
“Pengelolaan perikanan berbasis WPP masih akan menemui hambatan ketika hambatan lama seperti banyaknya pelabuhan tangkahan, perizinan daerah dan nelayan Andon belum bisa diatasi,” kata Arif.
Pihaknya menemukan operasional pelabuhan tangkahan menjadi tempat perlindungan kapal ikan yang melakukan penangkapan tanpa izin resmi dan tidak melaporkan hasil tangkapan.
“Temuan kami, WPP 718 merupakan zona merah dengan beroperasinya pelabuhan tangkahan yang menimbulkan praktik pungli, minimnya data laporan hasil tangkapan dan pelanggaran ketenagakerjaan seperti ABK yang tidak memiliki PKL dan penelantaran ABK,” kata Arif.
Dia menguraikan terkait Isu ini mereka berharap harus segera dibereskan oleh KKP terutama dengan cara meningkatkan upaya penegakan hukum agar perbaikan tata kelola perikana bisa terwujud. (Ria/jrg)