GURINDAM.ID- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ekonomi dunia 2020 adalah ekonomi terburuk dalam 150 tahun terakhir.
Jika ditarik lintasan waktunya ke belakang menuju tahun 1800-an, sepanjang rentang waktu tersebut, ada banyak kejadian yang membuat ekonomi dunia juga berada dalam kondisi hancur-hancuran.
*Pandemi influenza 1919* misalnya. Ini mirip dengan pandemi sekarang dalam hal penyebab: virus atau bakteri tak kelihatan. Pandemi kala itu memperparah situasi dunia yang sedang dilanda perang berskala besar. Perang Dunia Pertama. Tapi pandemi juga mempercepat selesainya perang.
*Depresi Besar (Great Depressions) 1930* juga membuat ekonomi dunia berantakan. Lalu, perang dunia yang kedua, membuat banyak negara mengalami kehancuran luar biasa, sekaligus membawa perubahan tata ekonomi-politik dunia yang drastis setelahnya.
*Pandemi Covid-19* kali ini juga punya derajat kerusakan yang jauh lebih dahsyat, lebih luas, lebih dalam, dan lebih sulit ditangani, dari sudut pandang ekonomi. Dalam rentang waktu hampir 1,5 tahun terhitung sejak Januari 2020, hampir seluruh dunia terperangkap di dalamnya.
Tiongkok memang menjadi awal mula, tetapi sekaligus pembeda. Dari sinilah virus itu diduga berasal.
Dengan tingkat kecepatan penyebaran penyakit yang tidak pernah terbayangkan, pendulum-pendulum sosial, politik, dan tentu saja ekonomi, bergeser dan mengalami kocok ulang.
Dan pembedanya, sepanjang kurun waktu pandemi kali ini, hanya Tiongkok yang mengalami pertumbuhan ekonomi positif. O ya…ada satu lagi, Vietnam.
Pemulihan ekonomi yang bergerak dari Tiongkok, kemudian menjadi momentum pergeseran imperium dan hegemoni ekonomi dunia abad ini.
Pemulihan yang cepat, komando yang tersentral, kapital yang nyaris tanpa batas, membuat Tiongkok menjadi negara paling cepat bermanuver menghadapi pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan rantai pasok ekonomi secara radikal.
Kecepatan dan kelincahan Tiongkok membuat mereka diperkirakan segera menggantikan posisi AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Negeri ini adalah satu-satunya negeri yang mampu mencatatkan ekspansi ekonomi di saat negara-negara lain mengalami kontraksi hebat.
Amerika Serikat di bawah kendali presiden baru Joe Biden sebenarnya telah bereaksi atas ancaman Tiongkok terhadap penguasaan singgasana ekonomi mereka.
Biden telah menyatakan tidak akan membiarkan Tiongkok mengambil alih dominasi AS, dan berjanji di hadapan rakyatnya untuk berinovasi dan membangun infrastruktur guna meningkatkan ekonomi AS.
Selain dari AS, Tiongkok juga menghadapi tekanan akibat penguatan dominasi ekonomi mereka di hampir seluruh belahan dunia. Negara-negara Eropa, Jepang, India, Australia, juga pasang kuda-kuda untuk menekan ketimpangan arus perdagangan dan transaksi ekonomi dengan Tiongkok.
Namun itu tidak menghentikan ambisi mereka menjadi negara dengan ekonomi terbesar pada tahun 2035. Kurang lebih 15 tahun dari hari ini.
Tiongkok juga telah menyiapkan fondasi sejak lama dalam riset dan inovasi, khususnya di bidang artificial intelligence dan bioteknologi.
Apa buktinya?
Mari kita lihat di tahun 2020 ketika semua negara sibuk mengatasi pandemi. Tiongkok berhasil menunjukkan pengaruh dan diplomasi yang kuat antarbangsa, sekaligus menunjukkan diri sebagai bangsa paling sigap mengelola pandemi.
Pada tahun 2020 itu, Tiongkok menarik investasi lebih banyak dibandingkan AS untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Sejumlah perusahaan negeri Tirai Bambu itu masuk ke dalam Fortune 500 bak air bah. Korporasi-korporasi mereka menarik perhatian dan menjadi pembicaraan dalam menyiasati rantai pasok yang rusak oleh karena pandemi, tekanan perang dagang, dan membuka pangsa pasar.
Daya beli warga Tiongkok sudah menyalip AS di tikungan pandemi kali ini. Nilai tukar mereka juga terkelola untuk mengatur disparitas harga atas produk-produk mereka di berbagai pusat-pusat ekonomi dunia dan transaksi antarbangsa.
Kestabilan politik yang dibangun Tiongkok, yang secara sistematis dikendalikan melalui sirkulasi kekuasaan internal Partai, menciptakan kestabilan ekonomi di ruang domestik atau dalam negeri, sekaligus “mengancam” dan memberikan efek gentar bagi negara-negara lain yang berurusan dengan Tiongkok.
Pertumbuhan ekonomi positif di tengah pandemi, sama sekali tidak menciptakan kekhawatiran terjadinya default atau kemacetan.
Ediaaan, bukan?
Kondisi ini membuat korporasi-korporasi besar asal AS –Nike Inc., Starbucks Corp., General Motors Co., dan lain-lain bermanuver dengan senjata politik dan demokrasi menggunakan mulut pemimpin-pemimpin mereka. Korporasi-korporasi asal AS dan negara-negara pesaing –Jepang, Eropa, Korea—berusaha melakukan penetrasi ke pasar Tiongkok yang jumlahnya raksasa, nyaris 1,5 miliar kepala.
Amerika Serikat di bawah Biden, mengambil jalan yang sama yang dilakukan Jokowi di Indonesia lima tahun silam.
Memperkuat infrastruktur untuk menggerakkan ekonomi domestik. Biden mengucurkan stimulus ekonomi untuk membangun infrastruktur baru senilai 1,9 Triliun USD pada tahun 2021 ini.
Langkah Biden tersebut memang segera menghambat gerak Tiongkok menjadi ekonomi paling mumpuni di kolong jagat.
Kebijakan “One Family One Child” yang diperkenalkan di Tiongkok sejak dua dekade silam, hari ini telah melesap di dalam benak dan kesadaran sebagian besar rakyat Tiongkok.
Orang malas punya anak lebih dari satu. Apalagi, Pemerintah Tiongkok menjalankan program ini dengan sangat keras dan ketat, mengancam nyali setiap pasangan untuk bikin anak lebih dari satu.
Warga Tiongkok sudah berada dalam level kesadaran _“Mau enaknya enggak mau anaknya”._ Jepang nyata-nyata sudah kelimpungan menghadapi kelakuan anak-anak mudanya yang ogah punya anak, yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk negatif.
Konsekuensinya, Tiongkok menghadapi pertumbuhan populasi yang rendah, dan dalam beberapa tahun ke depan akan segera terlewati oleh India dalam urusan banyak-banyakan penduduk.
Pertumbuhan populasi yang rendah ini akan mencapai puncaknya sebelum 2030.
Jumlah penduduk yang hampir 1,5 miliar memang membuat pendapatan rata-rata per penduduk Tiongkok “cuma” seperenamnya pendapatan rata-rata warga AS.
Dan itu menjadi salah satu penghambat upaya mereka menyalip AS. Tapi bayangkan, dengan jumlah penduduk sebesar itu, maka jumlah absolut orang-orang kaya Tiongkok, jumlahnya sudah ratusan juta. Mungkin sudah sekitar 300-400 juta orang, melebihi total penduduk AS sendiri.
Memang, kekuatan tidak selalu berasal dari ukuran yang sangat besar, tetapi juga dari tingkat PDB per kapita. Cara pandang seperti itu salah satunya dikatakan Yukon Huang, mantan Direktur World Bank Group yang juga menulis buku “Cracking The China Conundrum”. Bagaimanapun, pendapatan per kapita adalah magnet utama para penguasa kapital dan pemburu keuntungan.
Tapi melihat gelagat dan situasi ini, upaya sangat serius Tiongkok untuk merebut hegemoni AS di dalam pasar ekonomi dunia sudah membuat bangsa-bangsa lain –terutama AS– bereaksi dengan sangat serius. Bagaimanapun, disalip di tikungan itu bikin pedih, tapi juga membuat penonton menghela nafas panjang.
(**)
Oleh: Alois Wisnuhardana, Eximbanker at day, Dreamer at night, Joker in between