GURIDAM.ID- Pesawat Hercules hijau tua mendarat di pelabuhan udara sore itu.
Dalam hitungan menit, sudah terparkir dengan moncong menghadap lurus Merapi. Saya segera mengambil gambar dengan kamera yang saya punya.
Sesaat kemudian, kotak kayu berwarna cokelat tua –atau berselimut kain merah putih, saya agak lupa– keluar dari pantat burung besi raksasa.
Ruang kedatangan istimewa –tempat orang-orang penting dan sangat penting biasa lalu lalang untuk terbang dari dan ke Jogja—sudah ramai dengan manusia.
Mereka menyambut kedatangan jasad yang sudah terbujur di dalam kotak kayu cokelat tua itu.
Orang yang istimewa dan mendapat tempat di hati banyak orang telah wafat di Jakarta siang itu.
Jiwanya meninggalkan raga pada sebuah siang saat ia diminta mengudar pemikiran dan gagasan di depan banyak orang. Jiwa pergi dari raga, persis di pangkuan salah satu sahabatnya.
Orang yang punya sikap dan pendirian kokoh tentang hidup dan kehidupan di antara sesama pergi selamanya.
Orang yang punya keahlian dan pemikiran tentang desain dan bangunan yang luar biasa, berpulang.
Ia diterbangkan dari Jakarta ke Jogjakarta, dengan pesawat Hercules kepresidenan, berkat bantuan salah satu sahabat lamanya, Ruddy, yang telah menjadi pemimpin negeri.
Orang itu Mangunwijaya namanya. Yusuf Bilyarta nama baptisnya. Romo Mangun panggilannya.
Di masa mudanya, ia pernah menjadi tentara, lalu memutuskan untuk menjadi gembala bagi banyak orang.
Sampai dengan kepergiannya, Romo Mangun meninggalkan jejak pemikiran, karya arsitektur dan bangunan, buku-buku, novel, keberpihakan pada yang ditindas, yang memengaruhi pikiran dan sikap banyak orang, terutama anak-anak muda pada masanya.
Perjumpaan pertama saya dengannya, terjadi pada sebuah obrolan pagi di Kolese Ignatius Kotabaru.
Setelahnya adalah perjumpaan gagasan –lebih tepatnya saya menimba pemikiran dan karya-karyanya—yang tertuang dalam aneka buku yang menarik perhatian saya.
Novelnya Romo Rahadi saya tuntaskan dalam hitungan hari. Burung-burung Manyar, Burung-burung Rantau…..lupa berapa lama.
Buah pemikirannya yang tertuang dalam Wastu Citra dan Raga Widya, menjadi permenungan menjalani hari.
Jejak keberpihakan Romo Mangun ketika itu sudah ada di mana-mana. Di Kali Code, di Semanu Gunung Kidul, dan tentu saja di Kedungombo hanyalah beberapa di antaranya.
Di tempat-tempat itu, ia berbela rasa dengan mereka yang susah dan terpinggirkan. Terpinggirkan oleh keadaan, maupun oleh kekuasaan negara. Ia melakukan apa yang ia bisa.
Jejaknya sebagai arsitek juga sudah di mana-mana. Wisma Salam dan Gereja Salam di Tempel; Pertapaan Carmel di Gedono, Salatiga, tempat peziarahan Maria di Sendangsono, sampai dengan rumah tinggal sahabat-sahabatnya, ia rancang dengan pendekatan selaras dengan alam.
Material lokal menjadi kekuatannya. Material sisa yang diolah kembali dengan fungsi aneka rupa, menjadi salah satu ciri khasnya.
Sejak perjumpaan pertama di Kolsani, Romo Mangun telah menjadi magnet yang menarik pemikiran saya.
Dalam rentang waktu kemudian, entah berapa puluh kali saya bertemu. Tidak jarang, saya datangi khusus di rumah tinggalnya, Gang Kuwera,
sekadar untuk menimba ilmu dari sumur yang menyimpan banyak air jernih pelajaran hidup, sekaligus batu-batu keras sikap dan pendiriannya terhadap negara yang makin hegemonik kala itu.
Menjelang 1998, entah berapa puluh kali saya datang lebih intens. Sekadar berkeluh kesah atau membicarakan situasi yang sedang demam panas kala itu.
Dengan rela hati, ia pinjamkan rumah tinggalnya di Kuwera itu untuk tempat kami –anak-anak kemarin sore yang sedang menimba ilmu di UGM, IAIN, Atma Jaya, Sanata Dharma—berdiskusi dan bertukar gagasan tentang apa saja –terutama politik dan menjalani keberagamaan dalam keragaman.
Sesekali ia nimbrung dalam diskusi, tapi lebih sering kami yang merepotinya lantaran datang bergerombol puluhan orang dan ia bersusah-susah menyediakan nyamikan.
Sampai kemudian tiba-tiba dikabarkan ia wafat pada sebuah siang itu.
Upacara pemulangannya berlangsung panjang. Malam hari, jenasahnya disemayamkan di Gereja Kidul Loji, tempat ia pernah mengabdi.
Takziah menyemut dan mengalir tiada henti, dari berbagai kalangan dan orang.
Ia mempertemukan banyak orang yang lama tak bersua, yang berkerudung dan berpeci dengan yang berkalung salib. Yang bersurjan ataupun berkebaya. Semua merasa kehilangan.
Keesokan harinya, dari Gereja Kidul Loji Romo Mangun dibawa ke Seminari St. Paulus Kentungan untuk dimakamkan.
Menjelang petinya dimasukkan ke liang lahat, saya menggandeng Bu Gedong Bagus Oka, salah satu sahabat terdekatnya, untuk mendekat ke liang lahat.
“Saya mau melepas kepergian seorang sahabat saya paling dekat,” ujarnya lirih dan bermata basah. Ia mengambil segenggam bunga warna ungu di keranjang, menaburkannya ke dalam liang, tempat sahabatnya bersemayam selamanya.
Hari ini, dua puluh dua tahun yang telah lewat, ia pergi. Meninggalkan jejak yang terpatri sampai hari ini.
Doakan kami, Romo. Mudah-mudahan kami bisa merawat apa yang telah kau beri bagi kehidupan.
Cukup sekeping atau sekerat, supaya kami bisa menabur di tempat lain dengan lebih lebat. (Al)