Oleh: Alois Wisnuhardana
GURINDAM.ID – Empat tahun warga dunia tersedot perhatiannya dengan sepak terjang Donald Trump memimpin AS. Gayanya flamboyan, jargonnya mengesankan warganya: America’s First.
Janji kampanyenya ketika itu adalah mengembalikan supremasi AS yang sudah mulai terkoyak oleh Tiongkok.
Dan itulah yang membuat dirinya berhasil merebut kursi Gedung Putih meskipun popular votes-nya kalah beberapa juta dengan Hillary Clinton.
Padahal semua prediksi sedang menuju Hillary. Semua media sudah membikin laporan utama kemenangan istri Presiden Bill Clinton itu.
Trump membidik kemenangannya dari dua sisi: sektoral dan teritorial. Itulah yang membuat sejumlah pemilih berubah pikiran pada detik-detik terakhir, karena politik AS sesungguhnya tidak ditentukan oleh Demokrat atau Republik tetapi oleh swing voters.
Jumlahnya hampir 40 persen dari pemilih. Sedangkan masing-masing partai hanya berkuasa pada 25-30 persen pemilih loyal.
Gaya Trump yang flamboyan berlanjut pada periode kepemimpinannya. Ia segera mengibarkan kapak perang dagang dengan China. Ia membatasi pergerakan ekonomi tetangganya Meksiko.
Tapi itu malah jadi bumerang ketika 4 tahun yang pendek memaksanya harus mempertahankan ide-ide turunan America’s First itu.
Biden memenangi pertarungan pilpres, dan tahun 2021 segera duduk di kursi presiden menggantikan Trump.
Jadilah Trump presiden ketiga yang tidak berhasil memenangi periode kedua Pemilu setelah Perang Dunia. Yang pertama adalah Jimmy Carter yang dikalahkan Ronald Reagan. Yg kedua adalah George Bush Sr.
Perang dagang AS-China, seolah-olah menyeruak di permukaan, mengguncangkan ekonomi banyak negara lainnya.
Ibarat dua gajah bertarung, para pelanduk terjepit di tengah-tengah. Ada yang mati, ada yang sekarat, ada yang kelojotan.
Tapi fakta riilnya, perang dagang AS-RRC selama 4 tahun adalah sebuah wacana politik ketimbang praktik ekonomi, meskipun labelnya dagang.
Perusahaan-perusahaan AS belum siap melakukan “perang dagang total” dengan China. Mengikuti perintah presidennya, merelokasi pabrik-pabrik mereka dari Tiongkok.
Tiongkok masih menjadi magnet bagi pebisnis AS lantaran dua sebab: pasar yang sangat besar dan rantai pasok yang sangat efisien.
Itu terlihat dari investasi langsung AS ke RRC selama perang dagang relatif stabil. Bahkan foreign direct investment (FDI) AS ke China sedikit meningkat menjadi sebesar 13,3 miliar USD. Sekitar 200 triliun rupiah.
Defisit neraca perdagangan tetap melebar, berlawanan dengan apa yang ditargetkan pemerintahan Trump.
Itu jelas ketergantungan akut. Seperti pasangan muda-mudi yang saling cekcok, saling mendeklarasikan putus hubungan, tapi masih saling sedot madu hubungan yang nikmat.
Tapi yang ini sepertinya nikmat di satu pihak. Tidak nikmat di pihak lain. Tapi yang tidak nikmat, tetap merasa butuh. Gimana itu?
Pemerintahan Joe Biden yang akan segera berjalan setelah transfer kekuasaan berjalan efektif, pasti akan mengurangi ketergantungan itu, terutama pada sektor teknologi yang menjadi keunggulan bisnis maupun senjata dalam keamanan nasional AS.
Langkahnya tentu saja, sama seperti sebuah pasangan yang tengah ribut, melirik ke kandidat lain yang lebih menarik dan semlohai.
Joe Biden, sepertinya akan membangun aliansi dan kerja sama dagang dan investasi baru dengan negara-negara yang selama ini menjadi pesaing Tiongkok.
Efeknya apa? Perusahaan-perusahaan AS akan mengalihkan rantai pasokan ke negara-negara tujuan, jika para pebisnisnya tidak mau kembali ke AS yang secara struktur ekonomi sudah sangat mahal ekosistemnya.
Buruhnya mahal, regulasinya ketat, bahan baku juga mahal. Di Asia, India dan Vietnam sudah menghadirkan tatapan mata memikat, mengerling para pebisnis untuk menjadi “pasangan baru”.
Indonesia pun juga ikut kecipratan. AS ini secara kekuatan ekonomi, ibarat seorang pemuda yang bisa memacari banyak gadis.
Selama ini ia setia pada China, karena sang gadis bisa memberikan kebutuhan apa saja yang diperlukan sang pemuda gahar.
Maka, kita pun mendengar bisnis-bisnis AS yang mulai direlokasikan ke beberapa kawasan industri, seperti yang terjadi di Kendal Industrial Estate, Jawa Tengah.
Langkah Biden mengerling “gadis-gadis” lain untuk memalingkan pebisnisnya dari China, akan berbentuk pada terobosan kebijakan yang lebih aktif terutama di sektor pajak dan insentif jika mereka mau balik kampung, atau memindahkannya ke negara-negara di luar Tiongkok.
Langkah ini sudah dimulai oleh Jepang, yang telah mengalokasikan dana sekitar 2 miliar USD untuk memberikan insentif perusahaan Jepang yang bersedia keluar dari Tiongkok.
Taiwan juga telah menawarkan fast track program bagi perusahaan-perusahaan warisan Sun Yat Sen ini bilamana mau kembali beroperasi di Taiwan.
Namun, perang dagang China-AS ini juga agak bikin bingung. Negaranya saling ancam dan saling proteksi, tapi di level bisnis, kita bisa melihat bagaimana mesranya perusahaan otomotif China Wuling dengan General Motor Corporation.
Wuling (dan GMC) berinvestasi besar-besaran di Indonesia. Membangun pabrik dan spareparts puluhan hektare luasnya di timur Jakarta.
Di Indonesia, Wuling terlihat makin kokoh dan secara riil sudah sangat siap bersaing dengan pabrikan otomotif asal Jepang dan Korea.
Indonesia menjadi basis produksi Wuling-GMC, sekaligus pasar yang digarap sangat serius.
Pasar otomotif Thailand yang sudah kokoh sebagai basis produksi otomotif Jepang di Asia Tenggara, diserbu dengan kehadiran “Wuling” rasa Amerika, dan masih menggunakan merk Chevrolet di negeri Gajah Putih itu.
Secara umum, politk antarbangsa memang lebih pelik daripada urusan ekonominya.
Hukum ekonomi paling sederhana tetap berlaku: Carilah model bisnis yang mampu menciptakan barang dan jasa semurah-murahnya dan dijual setinggi-tingginya, sehingga menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Maka, perubahan politik apapun pada level negara-bangsa melalui pemilu, imbasnya terhadap ekonomi tetap dihitung dalam perspektif untung rugi.
Para pelaku bisnis, akan mengambil keputusan ekonomi berdasarkan kalkulasi tersebut. Bukan berdasarkan suara tokek yang terakhir.(*)
Jakarta, 2 Januari 2021