GURINDAM.ID – Hidup itu pergerakan. Dan pergerakan itu akan terus terjadi hingga masa perhentian abadi (Kiamat).
Dan karenanya tidak mengejutkan ketika pergerakan itu melahirkan dinamika yang terkadang “beyond expectation” (di luar dugaan).
Maka jangan terkejut, apalagi panik, karena sebuah realita yang tidak anda sangka terjadi. Karena sesungguhnya realita itu juga realitanya ada di luar kontrol anda.
Realita dunia itu ada pada kontrol tunggal. Dialah yang “alladzi bi yadihil mulk” (di genggamannya segala kekuasaan) dan “wa Huwa alaa kulli syaein qadiir” (Dia menguasasi segalanya).
Kemenangan dalam kontestasi politik juga tidak lepas dari itu. Ketika anda “over joyed” (terlalu bergembira) apalagi ada rasa “arogansi” berarti anda telah salah kaprah.
Anda tersesat dalam penilaian, seolah kemenangan itu adalah karena superman-superwoman yang hebat.
Percayalah, kemenangan politik itu adalah bagian dari keputusan Allah berdasarkan kepada hikmah dan qadar yang Dia tentukan.
Allah pernah memberikan kekuasaan kepada banyak orang yang baik-baik, termasuk nabi Daud dan anaknya nabi Sulaeman.
Tapi juga Allah tidak jarang memberikan kekuasaan itu kepada mereka yang tidak baik, bahkan zholim seperti Fir’aun.
“Wahai Engkau yang Memiliki kekuasaan. Engkau memberikan kekuasaan itu kepada siapa yang Engkau kehendaki”. (Al-Quran).
Dan karenanya manusia beriman akan menyikapi kekuasaan itu, termasuk pilihan politik dengan wajar-wajar saja. Kemenangan tidak disambut dangan arogansi dan keangkuhan. Kekalahan juga tidak disikapi dengan kecil hati, apalagi marah dan prustrasi.
Tentu ini juga sangat terkait dengan kesadaran iman bahwa memang hasil sebuah ikhtiar itu semuanya ditentukan oleh Allah.
Manusia hanya diwajibkan berikhtiar dengan penuh “itqan” (maksimal/sempurna). Selebihnya Allah, Penguasa alam semesta yang menentukan.
Apalagi dalam konteks Demokrasi yang disepakati oleh peserta konstestasi sebuah pilkada, pilpres atau pilihan politik lainnya.
Sikap kedewasaan itu sangat diperlukan. Dengan kedewasaan itulah semua akan bersikap tawadhu dengan kemenangan. Sebaliknya logowo dengan kekalahan.
Intervensi yang tidak sehat
Namun demikian tidaklah juga salah, bahkan sebaliknya akan baik jika pelaksanaan pilihan politik yang terjadi dari masa ke masa perlu dikritisi dan dilakukan pembenahan ke arah yang lebih baik.
Seraya mensyukuri proses yang telah berlalu dengan aman, tanpa insiden berarti, masih ada hal-hal yang perlu dikritisi dan diperbaiki.
Tentu hal ini tidak menyangkut tentang siapa. Tapi lebih kepada apa dan bagaimana. Dan karenanya tidak perlu disikapi secara personal.
Salah satu musibah Demokrasi di mana saja, bahkan termasuk di dunia maju seperti Amerika adalah kerap yang menentukan hasil pilihan politik adalah keuangan yang maha kuat.
Kita ambil sebagai contoh bagaimana segmen masyarakat tertentu di Amerika bisa menentukan siapa yang memenangkan konstestasi senate atau congress bahkan tidak jarang pilihan Presiden ditentukan oleh mereka.
Hal ini terjadi karena merekalah yang memiliki dana besar. Dengan dana itu mereka membeli semua media massa yang punya kekuatan untuk menentukan wajah (imej) seorang kandidat.
Dengan dana mereka arahkan media untuk menghitamkan yang putih. Atau memutihkan yang hitam.
Di negara ketiga (berkembang) justeru dengan kekuatan uang ini bisa menjadi lebih buruk lagi. Karena kekuatan uang tidak saja mengontrol media penggiring opini.
Justeru kerap memang suara pemilih begitu mudah dibeli dengan “bitsamanin bakhsin ma’duudah” (dengan sangat murah). Ini yang biasa disebut dalam candaan dengan “serangan fajar”.
Hal lain yang perlu dikritisi, dan ini terjadi juga bahkan di Amerika, adalah intervensi lingkaran kekuasaan.
Biasanya hal ini banyak dipergunakan oleh keluarga-keluarga, kolega dan sahabat penguasa untuk mengail ikan dalam selokan.
Mungkin saja pihak yang memiliki kekuasaan itu tidak terlibat langsung. Tapi suasana dan keadaan yang terbangun akibat kekuasaannya menjadi penentu bagi kesempatan peserta kontestan tertentu. Maka kemenangan yang terjadi adalah kemenangan nepotisme.
Kedua bentuk intervensi di atas (uang dan kekuasaan) menjadikan proses Demokrasi sering tercoreng. Akibatnya tidak jarang hasil dari proses Demokrasi itu justeru “undesirable” (kurang ideal).
Pilihan sering tidak mengedepankan kapabilitas, integritas, bahkan akseptibilitas. Nampak seperti dipilih. Tapi sesungguhnya lebih karena intervensi tadi.
Pada akhirnya kita sadar bahwa politik memang berwawasan kekuasaan. Tapi menjadi bagian dari ruang lingkup moral dan integritas politisi Muslim, kekuasaan bukanlah segalanya. Kekuasaan hanya jalan untuk memenangkan idealisme yang diyakini.
Dan karenanya jangan karena nafsu kekuasaan itu lalu idealisme menjadi terabaikan dan dilacurkan.
Terkadang kebenaran itu harus dilihat sebagai kebenaran walaupun tidak selalu populer di mata mayoritas.
Demokrasi yang dikenal mengedepankan keputusan mayoritas tidak harus ditelan tanpa reservasi.
Karena bagaimanapun idealisme adalah mutiara yang harus dijaga dan dipertahankan. Jangan sampai idealisme (kebenaran) direndahkan demi mengejar kekuasaan sementara.
Apapun itu, selamat kepada para pemenang pilkada 2020. Kemenangan anda semua justeru awal dari tantangan dan ujian yang sesungguhnya.
Kemenangan yang ada di tangan anda adalah amanah Tuhan melalui suara rakyat dalam proses Demokrasi.
Take it seriously. You will be responsible!
Mangkasara’ 10 Desember 2020
* Presiden Nusantara Foundation