Oleh Mohamad Sinal
GURIDDAM.ID – Bahasa adalah anugerah Ilahi yang dikaruniakan kepada manusia. Melalui bahasa, manusia berpikir, menata pengetahuan, dan membangun peradaban. Oleh sebab itu, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan manifestasi dari kesadaran moral, spiritual, dan intelektual yang mendalam.
Imam al-Ghazali pernah berkata, “Lisan adalah juru bicara hati; siapa yang menjaga lisannya, berarti ia menjaga kehormatannya.” Petuah ini mengajarkan bahwa bahasa adalah cermin batin yang memantulkan kejernihan hati dan kebijaksanaan akal. Menjaga bahasa berarti menjaga kesucian nurani, kehormatan diri, dan martabat ilmu.
Setiap kata yang diucapkan manusia adalah amanah yang memikul tanggung jawab kebenaran. Kebenaran dalam bahasa tidak hanya diukur dari fakta, melainkan juga dari niat dan dampaknya terhadap sesama. Berbahasa dengan nurani berarti menimbang setiap kalimat dengan keadilan dan kasih sayang.
Menulis adalah bentuk ibadah intelektual yang abadi nilainya. Pena menyimpan kekuatan yang mampu menggerakkan hati, mengubah pikiran, dan menuntun peradaban. Sejak wahyu pertama “Iqra’ bismi rabbika alladzī khalaq” diturunkan, jelaslah bahwa ilmu dan bahasa adalah jembatan menuju pengenalan kepada Tuhan.
Menulis secara adil menuntut keberanian untuk berpihak pada kebenaran tanpa terperangkap oleh kepentingan pribadi. Keadilan dalam tulisan adalah “jihad intelektual” yang menjaga kesucian makna dari manipulasi dan kebohongan. Kata-kata yang lahir dari hati yang tulus akan menemukan jalannya menuju hati pembaca.
Bahasa dengan nurani adalah bahasa yang menghidupkan, bukan melukai. Ia lahir dari kesadaran spiritual yang menempatkan kejujuran sebagai ruh, kesantunan sebagai bentuk, dan kasih sayang sebagai arah. Dengan demikian, berbahasa dengan nurani berarti menghadirkan harmoni antara akal, hati, dan iman.
Buya Hamka pernah berkata, “Kata-kata yang lahir dari hati akan sampai ke hati, sedangkan kata yang lahir dari lidah hanya sampai ke telinga.” Pandangan ini mempertegas bahwa keindahan bahasa tidak bergantung pada retorika, tetapi pada ketulusan makna yang dikandungnya. Bahasa yang tulus menjadi jembatan antara kebenaran batin dan kesadaran publik.
Orang berilmu tanpa nurani mudah terjerumus pada kesombongan, sedangkan orang beriman tanpa ilmu mudah terjebak dalam fanatisme.
Keseimbangan antara ilmu dan nurani melahirkan bahasa yang lembut, jernih, dan berdaya membimbing. Di sinilah bahasa menjadi sarana pencerahan, bukan sekadar alat berpikir.
Bangsa yang tidak jujur dalam berbahasa akan kehilangan kepercayaan dan keadabannya. Ketika kata tidak sejalan dengan makna, hukum kehilangan wibawa, pendidikan kehilangan arah, dan agama kehilangan ruh. Oleh karena itu, menjaga bahasa berarti menjaga fondasi moral suatu peradaban.
Kaum intelektual memiliki tugas suci untuk menjaga kesucian bahasa dari penyelewengan dan kebohongan. Mereka harus menjadi teladan dalam berkata benar, menulis adil, dan berbahasa dengan nurani. Tanggung jawab moral itu bukan semata akademis, melainkan spiritual dan sosial sekaligus.
Syekh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari berkata, “Tidak ada yang menunjukkan keadaan hati seseorang selain kata-kata yang keluar dari lisannya.” Ungkapan ini menegaskan bahwa bahasa merupakan cermin batin yang paling jujur.
Dengan demikian, kehati-hatian dalam berbahasa adalah bagian dari kesadaran rohani yang menuntun manusia kepada kebenaran.
Dalam pandangan sufistik, bahasa adalah gema jiwa yang memantulkan apa yang bergetar di dalam hati. Setiap kata dapat menjadi doa, setiap tulisan dapat menjadi zikir, dan setiap percakapan dapat menjadi jalan menuju hikmah. Dengan demikian, bahasa menjadi sarana penyucian diri melalui laku intelektual.
Buya Hamka juga menegaskan bahwa menulis adalah “mengabadikan kehidupan dalam kalimat.” Artinya, pena seorang intelektual bukan sekadar alat untuk mencatat, tetapi juga sarana untuk menghidupkan nilai-nilai kebenaran.
Tulisan yang lahir dari keikhlasan menjadi amal yang terus mengalir, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Menjadikan bahasa sebagai ibadah intelektual berarti mengembalikan kata pada asalnya sebagai amanah Ilahi.
Bahasa tidak boleh digunakan untuk menipu, menghina, atau menyesatkan, tetapi untuk menebarkan kebenaran dan kebajikan. Di sanalah bahasa memperoleh kedudukannya sebagai amal yang berpahala.
Menurut Buya Malik Ahmad, seorang pendidik sejati adalah yang mampu menanamkan makna melalui bahasa yang menumbuhkan jiwa.
Bahasa, bila digunakan dengan ikhlas dan penuh kesantunan, menjadi media pendidikan moral yang paling efektif. Ia bukan hanya mengajar, tetapi juga menghidupkan kesadaran rohani dalam diri manusia.
Dalam setiap ucapan yang jujur terdapat nilai ibadah, dalam setiap tulisan yang adil terdapat amal saleh, dan dalam setiap bahasa yang bernurani terdapat cahaya Ilahi.
Menjaga bahasa bukan hanya menjaga diri dari dosa, tetapi juga menjaga martabat kemanusiaan sebagai makhluk berakal. Oleh karena itu, bahasa yang lahir dari hati yang bersih adalah doa yang berbunyi dan zikir yang menulis dirinya sendiri.
Bahasa sejatinya bukan sekadar bunyi yang membentuk makna, melainkan kesaksian akal dan hati yang bersujud kepada kebenaran. Ketika manusia berkata benar, menulis adil, dan berbahasa dengan nurani, ia sedang menjalankan ibadah intelektual yang paling luhur. Maka, setiap kata yang terucap dari hati yang jernih adalah cahaya yang menuntun manusia menuju Tuhan.
*Mohamad Sinal adalah ahli bahasa hukum, Managing Director Kantor Hukum Pena Justisia, dan dosen Polinema.
Dikenal sebagai penulis, konsultan hukum korporasi, serta ahli bahasa hukum di berbagai lembaga negara dan peradilan. Karya-karyanya banyak mengulas relasi antara bahasa, hukum, dan moralitas.