Kebencian: “Mata Uang” untuk Membeli Loyalitas

Mohamad Sinal adalah dosen Polinema, Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturahmi Mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia.  
Mohamad Sinal adalah dosen Polinema, Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturahmi Mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia.  

Oleh Mohamad Sinal

GURINDAM.ID – Di era ketika jari-jemari lebih cepat bergerak daripada hati yang merenung, kebencian menemukan panggung megahnya di dunia digital.

Media sosial, yang sejatinya digagas untuk menyatukan manusia, perlahan berubah menjadi arena di mana kebencian dipertontonkan dan dirayakan. Kebencian telah menjadi komoditas baru: mudah diproduksi, laris dikonsumsi, dan semakin sulit dihentikan.

William Hazlitt dalam esainya “On the Pleasure of Hating”, menyatakan manusia memiliki kecenderungan alami untuk menikmati kebencian. Bagi Hazlitt, kebencian adalah naluri purba yang bertahan karena ia memuaskan sisi tergelap dalam diri manusia. Kini, kebencian menjelma menjadi arus deras yang melintasi batas-batas geografis dalam hitungan detik.

Bedanya, pada masa zaman Hazlitt kebencian lebih sering berlangsung dalam lingkup terbatas, di ruang tamu atau tulisan panjang di koran. Hari ini, kebencian diam-diam dipelihara, dipamerkan, dan diperdebatkan. Bahkan, disambut sorak sorai ribuan orang dalam satu kolom komentar.

Mengapa manusia begitu menikmati kebencian? Jawabannya sederhana: karena kebencian memberi sensasi superioritas. Dalam membenci orang lain, kita sering merasa diri lebih benar, lebih suci, bahkan merasa lebih pintar.

Perasaan tersebut, memberi kepuasan yang instan, menjadi sebuah pelarian dari kegetiran hidup yang tak selalu adil. Dulu, manusia mengonsumsi cerita-cerita kepahlawanan untuk merasakan kemenangan. Kini, mereka menyalurkan hasrat itu dengan menyerang orang lain di dunia maya.

Manusia menemukan kebahagiaan semu dalam menghancurkan reputasi. Menyebar gosip dan memprovokasi sesama. Merekayasa kebenaran menjadi kesalahan atau sebaliknya, untuk menjatuhkan orang lain.

Ironisnya, era digital justru memfasilitasi kebencian dengan sempurna. Algoritma media sosial seolah-olah dibangun untuk memprioritaskan konten yang mengundang emosi kuat, termasuk amarah dan kebencian. Semakin marah seseorang, semakin lama ia bertahan di platform itu, semakin banyak iklan yang bisa disajikan.

Dengan kata lain, kebencian bukan sekadar ekspresi, melainkan produk yang dijual oleh sistem. Kita diprovokasi, tanpa sadar, untuk terus membenci. Tujuannya, demi keuntungan pihak-pihak yang tidak kita kenal.

Fenomena ini tidak hanya melahirkan individu yang sinis dan mudah terprovokasi. Namun, menciptakan polarisasi yang akut dalam masyarakat. Manusia terbelah dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membenarkan kebencian masing-masing.

Diskusi pun menjadi pertengkaran. Perbedaan menjadi alasan untuk bermusuhan. Sedangkan ketidaksetujuan dianggap sebagai pengkhianatan.

Tidak ada ruang untuk abu-abu; dunia dipaksa menjadi hitam-putih, teman atau musuh. Bahkan agama, nilai luhur yang seharusnya menjadi oase kedamaian, kerap diseret menjadi amunisi dalam perang kebencian.

Teks-teks suci dikutip sepotong-sepotong untuk membenarkan kekerasan, label “kafir”, “sesat”, atau “penista”.

Stigma tersebut, begitu mudah disematkan kepada siapa pun yang berbeda. Di ruang digital, kebencian atas nama agama sering lebih cepat viral daripada pesan kasih yang sederhana. Mengapa? Karena kebencian menawarkan kegembiraan yang membakar, sementara kasih mengajak kita untuk sabar dan merenung.

Lebih parah lagi, kebencian sudah mulai menjadi identitas. Seseorang diakui sebagai bagian dari kelompok bukan karena kesamaan nilai, melainkan karena kesamaan musuh.

Kita semakin sering mendengar kalimat seperti, “Kalau kamu membenci tokoh itu, kamu pasti di pihak kami.”

Kebencian menjadi tanda pengenal yang lebih kuat daripada cinta. Ia menjadi mata uang yang bisa dipakai untuk membeli loyalitas. Sehingga tidak mengenal lelah untuk menciptakan sejumlah masalah.

Terus menerus marah, terus menerus curiga, dan terus menerus memaki. Padahal, kebencian yang terus dirawat akan melukai bukan hanya yang dibenci, tetapi juga yang membenci. William Hazlitt mengingatkan bahwa kebencian, meski terasa manis di awal, adalah racun yang lambat laun akan merusak batin kita.

Kebencian membuat manusia terpenjara dalam kegelisahan yang ia ciptakan sendiri. Ada pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur: apakah kita benar-benar membenci seseorang, atau hanya membenci pantulan kekecewaan kita sendiri? Apakah musuh kita sungguh orang di luar sana, atau justru sisi rapuh dalam diri kita yang tak pernah kita hadapi?

Di tengah gempuran kebencian yang membahana ini, kita memerlukan ruang untuk memperlambat langkah. Ruang untuk merenung, belajar memaafkan, dan menahan jari-jemari sebelum mengetik kalimat yang mungkin melukai orang lain.

Kita harus berani memilih jalan yang lebih sunyi: menumbuhkan empati di tempat di mana kebencian berakar. Membangun dialog di tengah riuh cercaan. Selanjutnya, memulihkan kemanusiaan yang mulai retak.

Maraknya kebencian di era digital bukanlah kutukan yang tidak bisa kita lawan. Ia adalah pilihan kolektif yang bisa kita ubah. Solusinya adalah kita harus berani menolak kenikmatan semu yang ditawarkan oleh kebencian.

Kita perlu mengingatkan diri kita sendiri: membenci itu mudah, sedangkan mencintai itu perjuangan. Jadi, di situlah letak nilai tertingginya.

Dalam perjuangan untuk mencintai itulah, kita akhirnya menemukan kemanusiaan yang sejati; bukan kesetanan yang membenci.

*Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *