Oleh Mohamad Sinal
GURINDAM.ID – Dalam sejarah peradaban manusia, tulisan selalu hadir sebagai alat transformasi. Ia bukan sekadar catatan, melainkan cermin pemikiran dan proyek perubahan. Melalui tulisan, manusia menciptakan dunia kedua, yaitu dunia ide yang mampu melampaui keterbatasan ruang dan waktu.
Plato (Sekitar 370 SM) dalam Phaedrus pernah mengkritik tulisan sebagai pengganti ingatan, namun justru dari karyanya kita mengenal filsafat Barat.
Tulisan yang ia khawatirkan merusak memori justru menjadi fondasi warisan intelektual yang hidup hingga kini. Ironi ini menunjukkan bahwa tulisan adalah paradoks: ia rapuh, tapi abadi; ia diam, namun bersuara keras dalam sejarah.
Imam Al-Ghazali (1058–1111 M), dalam karya-karyanya menekankan pentingnya ilmu yang diamalkan dan melestarikan ilmu melalui tulisan.
Dalam al-Munqidh min al-Dalal, ia mengakui bahwa tulisan bukan sekadar media menghafal, melainkan alat untuk menyelamatkan ilmu dari kelupaan dan zaman.
Bagi Al-Ghazali, ilmu yang hanya ada dalam lisan adalah ilmu yang terancam sirna, namun ketika dituangkan ke dalam tulisan, akan menjadi memori kolektif peradaban (dzakiratul ‘ilm)
Tulisan membentuk cara berpikir dan menata realitas melalui bahasa. Michel Foucault (1969) menyatakan bahwa diskursus bukan hanya refleksi dunia, melainkan alat kekuasaan yang membentuknya.
Oleh karena itu, menulis berarti mengintervensi struktur makna yang membentuk realitas sosial.
Para penulis besar memahami bahwa tulisan bukan produk akhir, melainkan proses pembebasan diri dan masyarakat.
Albert Camus (1942) menyatakan bahwa menulis bukan untuk memberikan jawaban, tapi untuk menolak ketidakadilan dan absurditas yang menguasai hidup. Melalui tulisan, kita dapat melawan dengan pena, bukan senjata.
Menulis bagi Buya Hamka bukan sekadar ekspresi, melainkan ikhtiar memuliakan akal dan membebaskan umat dari belenggu kebodohan dan penjajahan.
Hal tersebut merupakan seruan eksistensial yang seirama dengan Camus. Bedanya, Buya Hamka tidak berhenti pada absurditas, tetapi melanjutkan ke transendensi dan tanggung jawab etis.
Buya Hamka (1960) berpetuah: “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja.” Jadi, Buya Hamka menyadari bahwa tulisan adalah tindakan moral. Menulis adalah ibadah intelektual untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan dan kekosongan spiritual.
George Orwell (1946) menegaskan dalam Why I Write bahwa tulisan yang baik adalah tindakan politik. Setiap kata yang ditulis mencerminkan sikap terhadap keadilan, kebebasan, dan kebenaran. Dalam diamnya, tulisan mereka mengguncang sistem dan membangkitkan nurani.
Dalam dunia yang dikuasai propaganda dan kekuasaan represif, tulisan menjadi bentuk perlawanan yang paling radikal. Tulisan memiliki kekuatan untuk membayangkan ulang masa depan, bukan hanya mendokumentasikan masa lalu.
Ursula K. Le Guin (1974) menyatakan bahwa fiksi spekulatif adalah cara membangun kemungkinan lain dari kenyataan yang mapan.
Dalam dunia yang terjebak dalam sistem yang stagnan, tulisan membuka jendela ke dunia yang belum ada. Dalam konteks ini, tulisan bukanlah aktivitas pasif, tetapi tindakan kreatif yang berani. Dengan menulis, seorang individu memasuki ranah penciptaan: ia menjadi arsitek dunia gagasan.
Namun, membentuk dunia baru lewat tulisan tidak berarti menafikan kenyataan yang ada. Justru, dari penghayatan yang dalam terhadap kenyataan itulah tulisan memperoleh kekuatannya.
Sebagaimana dikatakan Simone de Beauvoir, setiap kata adalah sikap terhadap dunia, di dalamnya memiliki tanggung jawab moral.
Di tengah arus digital dan konsumsi cepat informasi, tulisan reflektif menjadi bentuk perlawanan terhadap dangkalnya makna. Jean Baudrillard (1981) memperingatkan bahwa dalam masyarakat posmodern, realitas telah digantikan oleh simulasi.
Menulis berarti menolak kehilangan makna sebuah usaha untuk menyusun kembali kebenaran dari serpihan citra.
Tulisan yang mampu membentuk dunia baru harus lahir dari kontemplasi dan pergulatan batin. Paulo Freire menyebutnya sebagai praksis: refleksi dan aksi yang menyatu. Dalam tulisan, penulis harus menjadi subjek yang sadar, bukan sekadar alat produksi ide.
Dunia baru yang dibentuk oleh tulisan bukanlah utopia yang steril, tetapi ruang etis yang sadar akan luka, konflik, dan harapan.
Toni Morrison menyatakan bahwa fungsi penulis adalah tidak hanya mencerminkan dunia, tetapi memperbaikinya. Menulis adalah upaya menyusun dunia yang lebih adil dari reruntuhan ketidakadilan yang diwarisi.
Setiap tulisan yang jujur mengandung unsur reflektif: ia mengajak pembaca merenung, tidak hanya memahami. Dengan demikian, tulisan adalah cermin dan jendela sekaligus. Ia memperlihatkan wajah kita dan memperluas pandangan ke dunia lain yang mungkin.
Bila realitas sosial dibentuk oleh narasi dominan, maka tulisan adalah alat dekonstruksi. Jacques Derrida menyebut bahwa tidak ada pusat tetap dalam teks; dengan kata lain, tidak ada kebenaran tunggal. Ini memberi ruang bagi tulisan untuk membuka kemungkinan pluralitas, perbedaan, dan kebebasan berpikir.
Dalam pengertian ini, menulis adalah kerja politik, kerja spiritual, dan kerja eksistensial. Ia menyatukan akal, hati, dan tubuh dalam satu gerak yang sadar.
Dengan menulis, manusia tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi pencipta sejarah itu sendiri.
Akhirnya, membentuk dunia baru lewat tulisan adalah panggilan yang tak sederhana. Ia menuntut keberanian untuk mempertanyakan, kekuatan untuk membayangkan, dan ketekunan untuk menyusun makna demi makna.
Sebab dunia tidak hanya dibangun dengan batu, tapi juga dengan kata. Selamat Hari Penulis Kata (Wordsmith Day)
*Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.