GURINDAM.ID – Di tepi dermaga Batam, pagi menyaksikan sebuah momen penuh makna ketika Prof. Dr. Meutia Hatta dengan mata berkaca-kaca menyentuh lambung kapal yang mengusung nama ayahandanya.
“Bagi kami, ini bukan sekadar besi dan mesin, melainkan jelmaan semangat Bung Hatta yang percaya bahwa kemandirian bangsa dimulai dari menghargai karya anak negeri,” ujarnya dengan suara hangat.

Dia bercerita, saat mendiang ayahnya memimpin Bangsa Indonesia bersama Bung Karno, yang selalu berkeliling Indonesia dengan menggunakan kapal perang. Meski kondisi dan teknologi belum sempurna di zamanya, ayahnya selalu menceritakan kepada anak-anaknya.
“Bung Hatta selalu cerita saat kembali dari kunjungan ke daerah di Indonesia menggunakan kapal perang. Meski ada keterbatasan saat itu, beliau tetap bangga dan bercita-cita membesarkan tentara karena sebagai gardabterdepan kedaulatan negara,” katanya.
Beliau, kata Meutia, juga selalu mengingatkan dasar prinsip bangsa Indonesia, yang berbeda-beda tetapi tetap satu, yaitu bangsa Indonesia. Yang hingga saat ini masih menjadi semboyan rakyat Indonesia.
“Dulu Presiden Soekarno dan Wapres M Hatta, sering merangkai pulau di tanah air ini menggunakan sarana seperti ini. Tujuannya agar pembangunan merata sehingga kesenjangan ekonomi dapat diminimalisir. Karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial,” ujarnya.

Usai upacara yang sarat nuansa kekeluargaan, Laksamana Muhammad Ali justru memilih berdialog santai dengan para pekerja PT KAS. “Lihatlah bapak-bapak di balik seragam biru ini,” sambutnya sambil menepuk bahu seorang teknisi, “Mereka lah pahlawan sesungguhnya yang telah merajut mimpi kemandirian alutsista dengan tangan-tangan mereka sendiri,” sebutnya.
Dihadapan putri Bung Hatta, KSAL menjelaskan, nama pendiri bangsa Bung Hatta dipilih, karena dikenal sebagai seorang tokoh kunci dalam sejarah Indonesia, yang lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 dan wafat di Jakarta pada 14 Maret 1980, dikenal sebagai Wakil Presiden pertama RI dan Bapak Koperasi Indonesia.
Letkol Ramli Arif, komandan baru kapal tersebut, justru membagikan kisah pribadi saat pengukuhan.
“Saya kecil di pesisir Makassar, belajar dari nelayan bahwa laut bukan pemisah, tapi perekat bangsa. Kini, saya diamanahkan menjaga perekat itu dengan warisan nilai Bung Hatta – sederhana tapi penuh makna,” lugasnya.
Ia menunjukkan foto hitam putih Bung Hatta sedang membaca buku di dek kapal tua. “Ini akan dipasang di ruang komando, mengingatkan kita bahwa kecanggihan teknologi harus berpadu dengan kedalaman pemikiran,” katanya.
Yang mengharukan, kapal ini dirancang dengan ruang khusus untuk misi kemanusiaan. “Kami siapkan sistem pendeteksi kapal nelayan tersesat,” jelas kepala teknisi sambil memperlihatkan monitor radar yang bisa mengenali kapal kayu kecil. “Ini implementasi nyata ajaran Bung Hatta tentang teknologi untuk rakyat.”
Para awak kapal pun telah dilatih khusus untuk operasi SAR, bahkan dilengkapi fasilitas medis dasar. “Kami ingin kapal ini menjadi sahabat bagi nelayan dan masyarakat pesisir,” tambah Ramli.
Acara penyerahan berubah menjadi pertemuan emosional ketika keluarga Hatta membagikan 370 buku karya Bung Hatta – sesuai nomor lambung kapal – untuk perpustakaan keliling kapal.
“Biarlah setiap awak kapal tak hanya menguasai teknologi, tapi juga menghayati filosofi kebangsaan,” ujar Meutia sambil menyalami satu per satu awak kapal.
Kapal ini bukan sekadar senjata, melainkan duta bangsa yang mengarungi samudera dengan tiga kompas: kecanggihan teknologi, kemandirian bangsa, dan nilai-nilai kemanusiaan yang tak lekang waktu.
Seperti pesan Meutia, “Bung Hatta mungkin wafat, tapi mimpinya terus berlayar dalam setiap kapal yang dibangun dengan semangat gotong royong bangsa ini,” lugasnya.
(Grd/pen)