Oleh Mohamad Sinal
Di tengah hiruk-pikuk peradaban modern, “Isro’ Mi’roj” mengingatkan kita. Bahwa gemerlap teknologi dan ambisi dapat membuat manusia lupa diri. Peristiwa tersebut mengingatkan akan pentingnya kesadaran nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Kehidupan manusia tidak akan pernah seimbang jika hanya berpusat pada hal-hal duniawi. Dalam doa, manusia dapat menemukan kedamaian. Dengan sujud, manusia dapat menghapus keegoisan. Isro’ Mi’roj menegaskan bahwa puncak kehormatan manusia terletak pada kerendahan hatinya di hadapan Yang Maha Suci.
Di atas langit yang tak berbatas, perjalanan Isro’ Mi’roj Baginda Nabi telah menjadi kisah agung. Kisah yang melampaui sekadar peristiwa sejarah. Ia adalah kisah cinta antara hamba dan Sang Pencipta.
Di dalamnya, sarat dengan pesan mendalam tentang kemanusiaan, keadilan, dan penghambaan. Dalam bayangan malam, saat dunia diam terlelap, Baginda Nabi diundang menuju dimensi ilahi. Sebuah dimensi yang tak dapat dijangkau oleh batas pikiran manusia.
Peristiwa tersebut bukan sekadar tentang perjalanan. Namun, mengandung pesan-pesan langit untuk menuntun umat manusia dalam kehidupan. Bagaimana cara menjaga harmoni hidup di muka bumi dan kehidupan di akhirat nanti.
Isro’: Pesan Kesetaraan
Isro’, perjalanan malam Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan yang menjadi simbol kuat kesetaraan manusia di hadapan Sang Maha Kuasa. Dalam perjalanan ini, Rasulullah SAW bertemu dengan para nabi terdahulu. Mulai dari Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Isa AS.
Pertemuan tersebut mennggambarkan bahwa semua nabi membawa misi kemanusiaan yang sama. Mereka menyampaikan pesan cinta, kedamaian, dan keadilan. Mereka adalah kekasih Tuhan yang diberi otoritas untuk menyempurnakan kehidupan.
Kesetaraan ini adalah pesan universal yang melampaui batas ruang dan waktu. Dalam konteks kekinian, Isro’ mengingatkan kita bahwa perbedaan ras, agama, suku, atau budaya adalah sebuah keniscayaan.
Perbedaan tersebut harus dirayakan, bukan diperdebatkan. Sebab, tidak ada bangsa yang lebih mulia dari yang lain, kecuali dalam ketakwaannya. Isro’ mengajarkan bahwa manusia adalah satu tubuh yang saling terhubung. Derita satu bagian pada tubuh tersebut adalah derita seluruhnya.
Mi’roj: Refleksi Ketundukan dan Kemanusiaan
Mi’roj, perjalanan vertikal Rasulullah menuju Sidratul Muntaha. Hal ini menjadi simbol pengabdian sejati seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam perjalanan ini, Rasulullah menerima perintah shalat. Ibadah yang menjadi inti dari hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Mi’roj mengajarkan bahwa kehidupan dunia bukan hanya tentang materi. Di dalamnya juga mengajarkan bagaimana manusia menjaga hubungan spiritualnya dengan Yang Maha Suci. Hal ini penting, agar manusia tidak sampai lupa diri.
Selain itu, pesan besar dari Isro’ Mi’roj adalah menjaga keselarasan antara hubungan manusia dan Sang Pencipta (hablum minallah). Hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas). Kedua dimensi ini harus berjalan seiring, seperti dua sayap burung yang membawanya terbang menuju kehidupan yang berarti.
Dalam hubungan dengan sesama manusia, Rasulullah SAW mencontohkan bahwa toleransi, kasih sayang, dan keadilan adalah fondasi utama. Oleh karena itu, perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha bukan hanya bermakna spiritual. Hal tersebut menjadi simbol persatuan umat manusia yang melintasi perbedaan geografis dan kultural.
Masjidil Aqsha, yang terletak di Yerusalem, adalah tempat suci bagi tiga agama besar dunia, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi. Hal ini menjadi pengingat bahwa di tengah keberagaman keyakinan, manusia tetap memiliki tujuan yang sama. Mereka mencari kebenaran dan hidup dalam kedamaian.
Namun, keselarasan ini tidak akan tercapai tanpa keadilan. Pesan Isro’ Mi’roj sangat jelas bahwa keadilan merupakan pilar utama kehidupan. Ketika keadilan dilanggar, harmoni akan runtuh.
Dalam konteks kekinian, hal ini menjadi pengingat bagi para pemimpin dunia. Tugas mereka adalah melindungi hak-hak rakyat. Menghapus penindasan dan memastikan setiap individu diperlakukan dengan adil, tanpa diskriminasi.
Isro’ Mi’roj juga mengajarkan cinta yang melampaui batas kemanusiaan, yaitu cinta kepada seluruh ciptaan Tuhan. Sebagaimana perjalanan Rasulullah menembus langit, yang menunjukkan keagungan Sang Pencipta. Hal ini menjadi pengingat bahwa manusia adalah khalifah yang bertanggung jawab atas bumi dan isinya.
Dalam konteks dunia yang terancam oleh perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam, pesan ini menjadi sangat relevan. Manusia tidak bisa terus-menerus mengorbankan lingkungan demi ambisi ekonomi. Isro’ Mi’roj mengingatkan bahwa menjaga harmoni dengan alam adalah bagian dari tugas kita sebagai makhluk yang diberi akal dan hati nurani.
Relevansi dan Cahaya yang Menerangi
Di era modern, Isro’ Mi’roj menjadi refleksi spiritual yang sangat relevan. Ia mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dari kesibukan duniawi. Selanjutnya, merenungkan makna kehidupan yang sebenarnya.
Di tengah polarisasi sosial, konflik politik, dan ketidakadilan, Isro’ Mi’roj memberikan jawaban yang sangat bijak. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang, manusia dapat mencapai kedamaian sejati. Kedamain di dunia dan kehidupan sesudahnya.
Pesan tersebut sangat berguna bagi kehidupan kita. Ketika manusia merasa terasing, Isro’ Mi’roj mengajarkan bahwa hubungan dengan Tuhan adalah sumber kekuatan terbesar. Dalam sujud, manusia dapat menemukan pelipur lara. Dalam doa, manusia dapat menemukan arah.
Paparan di atas menggambarkan bahwa Isro’ Mi’roj bukan hanya peristiwa agung dalam sejarah Islam. Ia adalah mercusuar yang menerangi jalan manusia menuju kehidupan yang harmonis. Peristiwa yang mengajarkan bahwa spiritualitas dan kemanusiaan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Pesan universal Isro’ Mi’roj sangat relevan hingga kini. Keadilan, kasih sayang kepada sesama, dan mencintai alam semesta merupakan kewajiban dalam hidup ini. Dengan memahami dan mengamalkan pesan-pesan tersebut, nilai-nilai kemanusiaan akan berjalan sesuai ajaran Tuhan. Semua itu merupakan cahaya yang menerangi hati manusia dan menuntunnya menunju kehidupan yang lebih damai, adil, dan penuh kasih.
Penulis adalah dosen Polinema, pemerhati bahasa hukum, dan pendiri Pena Hukum Nusantara (PHN).