Di Usia Dewasa Natuna, Setya Kita Pancasila Minta Pemda Cepat Tanggap Atasi Lesu Ekonomi

Warga menumpang kapal motor pong-pong yang akan menuju ke Kecamatan Pulau Tiga di Dermaga Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepri, Kamis (3/9).
Warga menumpang kapal motor pong-pong yang akan menuju ke Kecamatan Pulau Tiga di Dermaga Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepri, Kamis (3/9).

NATUNA – Kabupaten Natuna genap berusia 26 tahun. Sebuah usia yang kerap diasosiasikan dengan kedewasaan dan kemandirian. Namun, di balik rentetan ucapan selamat, wajah sesungguhnya yang terlihat adalah gelisahnya masyarakat akibat melesunya perekonomian.

Riky Rinovsky, Ketua Setya Kita Pancasila (SKP) DPD Kabupaten Natuna, organisasi masyarakat yang berafiliasi serta berbadan hukum pusat, dalam refleksinya menyebut momentum ini sebagai penanda.

“Usia 26 tahun Natuna adalah wajah negeri dewasa. Seharusnya, ini ditandai dengan kemandirian dan ketahanan ekonomi, bukan ketergantungan yang justru sedang goyah,” ujar Riky, menyoroti kelesuan yang melanda.

Harapannya, sebagai representasi suara masyarakat, tertuju pada Pemerintah Daerah. “Pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan diharapkan dapat mencarikan solusi. Setidaknya, sepatah kalimat penjelasan dan langkah nyata itulah harapan yang banyak dilontarkan warga,” tambahnya.

Kelesuan ekonomi ini ibarat pisau yang mengiris semua lapisan. Tidak hanya warga di akar rumput, kelompok yang dianggap sudah mapan pun turut merasakan imbasnya. Beberapa penilaian bahkan cenderung ekstrem, menyebut kondisi ini sebagai indikator lemah pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan.

Buktinya terpampang nyata di media sosial. Linimasa dipenuhi keluhan ekonomi, minimnya pemasaran hasil produksi, hingga menjamurnya iklan jual beli tanah dan rumah.

Tomi Alamsyah, misalnya, terpaksa mengunggah rumah huniannya untuk dijual. Sindy Geo pun melakukan hal serupa, menjual perabotan rumah miliknya. Ini adalah sinyal darurat dari dalam rumah warga Natuna sendiri.

Melemahnya perekonomian banyak dikaitkan dengan efisiensi anggaran di berbagai instansi pemerintah. Faktanya, perekonomian Natuna masih sangat bertumpu pada program pembangunan pemerintah.

“Sebelum efisiensi, peredaran ekonomi cukup lancar. Berbagai pembangunan menggeliat hingga ke desa-desa. Hasil produksi kami tidak sesulit sekarang untuk dipasarkan,” kenang Maruji, seorang buruh pemecah batu di kawasan Air Raya, Bandarsyah.

Nasib Maruji dan kawan-kawannya kini terkatung. “Hampir setahun, program pembangunan yang butuh batu granit mati suri. Tidak ada pembeli. Kalau pun ada, harganya jauh dari pasaran,” keluhnya. Profesi yang menghidupinya selama ini kini seperti terpangku.

Lemahnya perputaran uang dan menurunnya daya beli menjadi indikator nyata sulitnya ekonomi. Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merasakan imbas yang paling dalam.

Di usia yang ke-26 ini, masyarakat Natuna, dari buruh seperti Maruji hingga pengusaha kecil, tidak lagi membutuhkan janji. Mereka mendambakan tindakan nyata dan solusi konkret dari pemangku kebijakan. Hanya dengan itu, cita-cita masyarakat Natuna yang damai, aman, dan sejahtera di usia dewasa ini bisa diwujudkan, bukan sekadar diangan-angankan.

(Rls)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *