JAKARTA – Dalam terobosan penegakan hukum yang berorientasi pada pemulihan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui penyelesaian dua perkara penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Keputusan ini ditetapkan usai ekspose virtual yang digelar pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Kedua perkara tersebut diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, yang melibatkan total tiga orang tersangka.
Kebijakan ini sejalan dengan komitmen Kejagung untuk menerapkan asas dominun litis dan mengedepankan rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika yang memenuhi kriteria tertentu.
Rincian Perkara dan Tersangka
1. Perkara dari Kejari Kabupaten Cirebon:
Tersangka: Prima Kusmawan bin Totong Sujai (Alm).
Dakwaan: Diduga melanggar Pasal 114 Ayat (1) atau alternatifnya Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2. Perkara dari Kejari Ambon:
Tersangka 1: Fredi Lotel, Dakwaan: Diduga melanggar Pasal 114 Ayat (1) atau Pasal 112 Ayat (1) atau Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU Narkotika.
Tersangka 2: Dicky Marthen Pariama alias Dicky.l, Dakwaan: Diduga melanggar Pasal 112 Ayat (1) atau subsidair Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU Narkotika.
Berdasarkan persetujuan JAM-Pidum, Kepala Kejaksaan Negeri Ambon telah diminta untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal ini merujuk pada Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 18 Tahun 2021.
Pertimbangan Utama Penerapan Keadilan Restoratif
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, S.H., M.H., dalam keterangan tertulisnya menegaskan bahwa persetujuan rehabilitasi ini diberikan setelah melalui pertimbangan yang komprehensif.
Berikut poin-poin kunci pertimbangan Kejagung:Status sebagai Pengguna, Bukan Pengedar, Hasil penyidikan dengan metode Know Your Suspect menetapkan bahwa para tersangka tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Mereka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar, atau kurir.
Hasil Assemen Terpadu: Terdapat hasil asesmen terpadu dari instansi berwenang yang mengkualifikasikan tersangka sebagai pecandu narkotika, korban penyalahgunaan, atau penyalah guna.
Konfirmasi Laboratorium Forensik: Pemeriksaan laboratorium forensik membuktikan bahwa tersangka positif menggunakan narkotika.
Profil Bersih Tersangka: Tersangka tidak pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan belum pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali (dibuktikan dengan surat keterangan resmi).
Dengan keputusan ini, ketiga tersangka akan diwajibkan untuk menjalani proses rehabilitasi sebagai ganti dari proses pidana. Langkah ini diharapkan dapat memutus siklus ketergantungan narkotika dan memulihkan para tersangka agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.
Kebijakan Kejagung ini menandai pergeseran paradigma dalam menangani kasus narkotika, di mana aspek pemulihan dan pencegahan mulai diutamakan bagi pelaku yang merupakan korban dari penyalahgunaan zat adiktif tersebut, sambil tetap menjaga penindakan tegas terhadap jaringan pengedar dan bandar.
(Gas/jk)