Tragedi yang Menggores Sejarah

Mohamad Sinal adalah dosen Polinema, Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturahmi Mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia.  
Mohamad Sinal adalah dosen Polinema, Pendiri dan Pembina Pena Hukum Nusantara (PHN), Forum dan Wadah Silaturahmi Mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia.  

Oleh Mohamad Sinal

GURINDAM.ID – Sejarah adalah cermin panjang perjalanan bangsa yang merekam setiap peristiwa dengan segala pahit dan manisnya. Dari sana kita belajar, bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan untuk direnungkan dengan jernih.

Tragedi G-30 S/PKI tahun 1965 menjadi salah satu peristiwa yang terpatri kuat dalam lembaran sejarah Indonesia.

Peristiwa itu bukan sekadar catatan tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang luka yang ditorehkan pada bangsa yang masih muda.

Malam kelam itu menyisakan kisah duka, ketika beberapa putra terbaik bangsa meregang nyawa dengan cara yang tragis. Mereka gugur dalam tugas menjaga kehormatan negara, dan darahnya menjadi saksi bisu perjalanan republik.

Namun, di balik tragedi tersebut, kita diingatkan betapa rapuhnya kehidupan politik ketika kepentingan pribadi dan ideologi ditempatkan di atas nilai kemanusiaan.

Kekerasan yang dilakukan tidak hanya menghancurkan tubuh, tetapi juga melukai hati bangsa. Trauma itu pun diwariskan lintas generasi, menjadi pengingat betapa mahal harga persatuan dan kebebasan.

Sejarah tidak dapat dihapus, tetapi dapat dipahami dengan bijak. Setiap lembaran yang tertulis bukan untuk membangkitkan kebencian, melainkan sebagai ruang refleksi agar kita tidak mengulang kesalahan serupa.

Tragedi G-30 S/PKI adalah pengingat betapa pentingnya menjaga bangsa dari ideologi yang mengabaikan martabat manusia.

Kekejaman yang terjadi kala itu menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat membutakan nurani. Para korban tidak hanya para jenderal yang gugur, tetapi juga keluarga dan masyarakat luas yang kemudian dilanda ketakutan.

Gelombang duka merayap di tengah malam, menorehkan luka yang begitu dalam di hati bangsa.

Romantika sejarah kita seolah mengajarkan, bahwa di balik luka selalu ada kekuatan untuk bangkit.

Air mata yang tumpah pada malam tragedi menjadi benih kesadaran nasional untuk merawat kemerdekaan. Dari sana lahir tekad bersama untuk menata kembali Indonesia agar tetap berdiri tegak di hadapan dunia.

Namun, penting ditegaskan bahwa peristiwa itu tidak dapat dibebankan kepada generasi penerus mereka yang terlibat.

Anak-anak keturunan tidak mewarisi dosa sejarah, sebab setiap manusia dilahirkan suci. Mereka adalah bagian dari bangsa yang memiliki hak untuk hidup damai, belajar, dan berkontribusi bagi negeri.

Dengan demikian, kita diajak untuk memandang tragedi itu sebagai pelajaran, bukan stigma. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan masa lalu tanpa kehilangan kewaspadaan.

Dari sanalah muncul kebijaksanaan untuk membangun rekonsiliasi sosial yang sehat.

Tragedi G-30 S/PKI juga menyingkap betapa rawannya bangsa yang tidak waspada terhadap infiltrasi ideologi yang ekstrem. Sejarah itu membuktikan, bahwa ketika kepentingan sempit menguasai nalar, maka kemanusiaanlah yang menjadi korban pertama.

Oleh sebab itu, menjaga nilai Pancasila sebagai fondasi bangsa menjadi keharusan yang tak dapat ditawar.

Kisah kelam tersebut mengingatkan kita pada pentingnya harmoni dalam perbedaan. Indonesia adalah rumah besar yang berdiri di atas keragaman suku, agama, dan budaya.

Jika rumah ini dibiarkan terpecah oleh ideologi yang meniadakan perbedaan, maka ia akan runtuh dalam sekejap.

Malam gelap yang melingkupi tragedi itu menjadi simbol perjalanan bangsa dari kegelapan menuju cahaya. Dari luka, lahir kesadaran; dari duka, tumbuh harapan. Inilah paradoks sejarah: bahwa penderitaan bisa menjadi guru terbaik bagi peradaban.

Hari ini, kita tidak boleh melupakan para pahlawan yang gugur mempertahankan kehormatan bangsa. Mereka adalah simbol keberanian yang abadi, yang namanya terpatri dalam hati rakyat. Setiap tetes darah mereka adalah doa agar Indonesia tetap kokoh berdiri.

Namun, mengingat tragedi ini bukan berarti menanam kebencian. Justru sebaliknya, kita belajar tentang pentingnya cinta kasih dan penghormatan terhadap sesama.

Bangsa yang belajar dari masa lalu akan mampu melangkah dengan lebih arif di masa depan.

Sejarah adalah puisi panjang yang ditulis dengan tinta air mata dan darah. Tetapi, di setiap baitnya, selalu tersimpan hikmah yang dapat memuliakan kehidupan.

Tragedi G-30 S/PKI adalah salah satu bait getir yang mengajarkan arti kebersamaan dan kewaspadaan.

Sebagai generasi penerus, tugas kita bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menjaga agar tragedi serupa tidak pernah terjadi lagi.

Setiap insan Indonesia harus menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang menekankan keadilan, persatuan, dan kemanusiaan. Dengan begitu, luka masa lalu dapat berubah menjadi pelita masa depan.

Kita harus menyadari bahwa bangsa ini dibangun di atas pengorbanan banyak jiwa. Maka, menjaga persatuan dan kesatuan adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada mereka yang telah gugur. Hanya dengan persatuan, Indonesia dapat melangkah menuju cita-cita luhur kemerdekaan.

Tragedi G-30 S/PKI adalah cermin betapa rentannya kehidupan bangsa ketika nurani ditinggalkan. Tetapi dari sana pula kita belajar, bahwa cinta tanah air dan nilai Pancasila adalah perisai yang mampu melindungi kita dari ancaman apa pun. Sejarah, betapapun pahitnya, tetaplah guru terbaik bagi perjalanan bangsa.

Kini, yang kita butuhkan adalah hati yang jernih untuk memandang masa lalu, sekaligus semangat yang kuat untuk menatap masa depan.

Tragedi yang menggores sejarah itu biarlah menjadi pengingat abadi, bahwa bangsa ini pernah melewati malam kelam dan berhasil bangkit.

Dari sana, kita mewarisi harapan, bahwa Indonesia akan selalu teguh berdiri dalam cahaya persatuan dan cinta kasih.

*Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *