Melihat Jauh ke Dalam: Visi Prabowo Sudah Geopolitik, Tapi Mental Birokrasi Masih Kolonial

Riky Rinovsky Redaksi Gurindam Media Gorup
Riky Rinovsky Redaksi Gurindam Media Gorup

OPINI REDAKSI

Oleh: Riky Rinovsky

Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan lantang menyuarakan visi Indonesia yang berdaulat, maju, dan menjadi kekuatan utama dalam peta geopolitik global.

Retorikanya sarat dengan wacana ketahanan pangan, energi, dan pertahanan sebuah narasi besar yang berusaha keluar dari cara pandang lokal menuju tataran global. Visi ini, secara filosofis, adalah visi yang “membangun”.

Ia ingin menjadikan Indonesia sebagai subject dalam percaturan dunia, bukan sekadar object yang terus dieksploitasi.

Namun, di tengah gegap gempita visi geopolitik ini, kita diingatkan oleh dua kebijakan mutakhir yang justru menguak lapisan terdalam dari tantangan sesungguhnya: mentalitas birokrasi kita yang masih terjebak dalam pola pikir kolonial.

Dua kebijakan itu adalah pemblokiran 31 juta rekening dormant oleh PPATK dan wacana penyitaan tanah yang dianggap terlantar.

Secara normatif, kedua kebijakan ini memiliki niat baik: memberantas kejahatan keuangan (TPPU, judol) dan mendorong produktivitas aset.

Argumentasinya teknis dan legalistik, bersembunyi di balik payung Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2021 untuk tanah terlantar dan aturan turunan UU TPPU untuk rekening.

Di Mana Letak Mental Kolonial Itu?

Pola pikir kolonial dalam birokrasi bukan tentang penjajah asing, melainkan tentang cara negara berelasi dengan rakyatnya. Mentalitas ini bercirikan:

1. Instrumentalisasi Rakyat: Rakyat dilihat sebagai angka, sebagai objek administrasi yang harus dikendalikan, bukan sebagai subjek berdaulat yang dilayani.

2. Kecurigaan sebagai Default: Asumsinya adalah bahwa setiap warga berpotensi kriminal sampai terbukti bersalah. Rekening dormant dianggap akan disalahgunakan; tanah dianggap sengaja dibiarkan untuk spekulasi.

3. Solusi yang Bersifat Pukul Rata dan Koersif: Alih-alih membangun sistem pendataan yang canggih dan outreach yang humanis, langkah yang diambil adalah blokir massal dan ancaman sita. Ini adalah tindakan yang paling mudah dan paling kasar dalam instrumentasi kekuasaan.

Visi geopolitik Prabowo membutuhkan kepercayaan (trust) yang tinggi antara negara dan rakyat, serta antara Indonesia dengan dunia.

Namun, bagaimana bisa membangun kepercayaan global jika kepercayaan domestik justru terkikis oleh kebijakan yang represif dan bermental kolonial ini?

Geopolitik Dimulai dari Dalam Negeri

Kekuatan geopolitik suatu bangsa tidak hanya dibangun di atas panggung internasional dengan pidato dan diplomasi. Ia dibangun dari fondasi ekonomi domestik yang inklusif, sistem hukum yang adil dan dapat diprediksi, serta birokrasi yang melayani.

Kebijakan blokir rekening dan sita tanah tanpa komunikasi yang jelas, tanpa langkah verifikasi yang humanis, dan tanpa mekanisme banding yang mudah justru merusak fondasi itu. Ia menciptakan ketidakpastian hukum dan rasa tidak aman bagi warga negaranya sendiri.

Seorang petani tua yang menyimpan uangnya di bank untuk anak cucunya, atau seorang warga yang mewarisi tanah tetapi belum memiliki kapital untuk mengelolanya, tiba-tiba dihadapkan pada kekuatan negara yang begitu dingin dan otoriter.

Ini adalah paradoks yang berbahaya: Visi sudah level nation-building, tetapi eksekusi masih level policing state.

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?

Prabowo memiliki tugas yang jauh lebih berat daripada sekadar meneruskan pembangunan infrastruktur. Tugas terbesarnya adalah melakukan rekonstruksi mental birokrasi.

1. Menggeser Paradigma dari Pengendali menjadi Pemberdaya. Birokrasi harus dididik untuk melihat diri mereka sebagai fasilitator yang mempermudah rakyat menjadi produktif, bukan sebagai polisi yang mencari kesalahan.

2. Memanfaatkan Teknologi untuk Presisi, Bukan Massal. Daripada memblokir 31 juta rekening, gunakan data dan AI untuk mengidentifikasi dengan presisi tinggi rekening yang benar-benar mencurigakan. Begitu pula dengan tanah, gunakan citra satelit dan data yang akurat sebelum menyentuh hak properti warga.

3. Komunikasi dan Transparansi. Setiap kebijakan harus disosialisasikan dengan gencar dan memberikan jalan keluar yang mudah. Negara hadir untuk menjelaskan, bukan untuk menghukum tanpa aba-aba.

Visi geopolitik adalah visi yang mulia. Namun, visi itu akan jatuh menjadi utopia jika tidak ditopang oleh pemerintahan yang cerdas, berempati, dan menghormati kedaulatan rakyatnya sendiri.

Prabowo ingin Indonesia disegani di dunia, tetapi penghormatan internasional bermula dari bagaimana sebuah negara memperlakukan setiap warganya dengan hormat.

Pertanyaannya bukan lagi “apakah visi Prabowo besar?”, tetapi “siapkah mesin birokrasi kita yang bermental kolonial ini bertransformasi menjadi enabler dari visi besar tersebut?”

Jawabannya menentukan masa depan Indonesia bukan hanya sebagai kekuatan geopolitik, tetapi sebagai peradaban yang besar dan beradab.

Riky Rinovsky adalah Kolumnis dan Pengamat Kebijakan Publik Gurindam Media Kepri. Artikel ini merupakan sudut pandang Redaksi dan tidak mewakili kebijakan institusi manapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *