Fenomena Tokoh Habib Pasca Reformasi 1998 Indonesia: Tantangan Keilmuan Dan Toleransi Beragama

Ilustrasi gambar gurindam.id
Ilustrasi gambar gurindam.id

Opini: Inas N Zubir

GURINDAM.ID – Reformasi 1998 menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia, membuka ruang yang lebih luas bagi kebebasan beragama dan ekspresi identitas keislaman. Salah satu fenomena pasca-reformasi adalah munculnya tokoh-tokoh habib dari kalangan keturunan Arab, khususnya Yaman, yang sebelumnya kurang dikenal di ranah publik.

Namun, tantangan muncul ketika sebagian tokoh habib ini tidak memiliki bekal ilmu agama Islam yang memadai dan kurang konsisten dalam menjalankan kewajiban dasar sebagai muslim, seperti salat, puasa, dan zakat.

Ditambah lagi, karena latar belakang budaya mereka yang berakar dari Yaman, beberapa di antaranya memiliki pemahaman yang terbatas terhadap nilai-nilai kebangsaan Indonesia, seperti toleransi, pluralisme, dan semangat kebhinekaan yang menjadi pilar budaya Nusantara.

Kombinasi dari minimnya keilmuan agama dan pemahaman konteks lokal ini berkontribusi pada merebaknya praktik-praktik intoleran yang meresahkan masyarakat.

Praktik intoleran tersebut mencakup tindakan-tindakan yang tidak terpuji, seperti mengganggu pembangunan rumah ibadah agama lain, terutama gereja-gereja Kristen, dan bahkan mengintervensi kegiatan ibadah umat beragama selain Islam. Contohnya, terdapat kasus-kasus di mana sekelompok orang, dengan dalih menjaga kemurnian ajaran, melakukan protes atau intimidasi terhadap pembangunan tempat ibadah non-Muslim, yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Selain itu, gangguan terhadap kegiatan ibadah, seperti ibadah mingguan umat Kristen atau perayaan keagamaan lainnya, juga mencerminkan sikap eksklusif yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan semangat Pancasila. Praktik-praktik ini tidak hanya merusak harmoni antarumat beragama, tetapi juga mencoreng citra Islam sebagai agama damai dan inklusif.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan terpadu. Pertama, institusi keagamaan dan pendidikan Islam perlu memperkuat pelatihan keilmuan bagi tokoh-tokoh agama, termasuk pemahaman mendalam tentang nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang menjunjung toleransi dan keberagaman.

Kedua, dialog antaragama dan lintas budaya harus digalakkan untuk membangun saling pengertian dan menghapus stereotip negatif. Ketiga, tokoh-tokoh habib yang memiliki integritas keilmuan dan akhlak mulia harus mau menjadi teladan dalam mempromosikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan mendukung persatuan nasional.

Dan yang paling penting adalah penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan intoleran juga penting untuk menjaga keharmonisan sosial. Dengan upaya ini, kebebasan yang dibawa Reformasi 1998 dapat dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai Islam yang inklusif dan mendukung kebhinekaan Indonesia.

(Rls)

Editor: Riky rinovsky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *