Oleh: Assoc Prof. Dr. Julizar Idris, Dosen dan Peneliti Administrasi Publik
GURINDAM.ID – Program makan siang gratis yang dicanangkan pemerintah menjadi salah satu kebijakan yang paling banyak dibicarakan belakangan ini.
Meski terdengar sederhana sekadar memberi makan anak-anak sekolah sejatinya program ini menyentuh isu-isu mendalam seperti gizi, kesetaraan, kemiskinan, hingga kepercayaan publik terhadap negara.
Dari kacamata administrasi publik, program ini patut dibaca sebagai upaya membangun public value nilai publik sebagaimana dikembangkan oleh Mark Moore, seorang pemikir kebijakan dari Harvard
. Ia menekankan bahwa setiap kebijakan publik seharusnya menciptakan manfaat nyata, mendapatkan legitimasi dari masyarakat, dan bisa dijalankan secara efektif oleh birokrasi pemerintah.
Mengapa Makan Siang Gratis Penting?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak sekolah dasar di Indonesia yang datang ke sekolah dalam keadaan lapar.
Data Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa prevalensi stunting (tengkes) di beberapa daerah masih tinggi. Masalah gizi seperti ini secara langsung memengaruhi kemampuan belajar, konsentrasi, dan bahkan masa depan anak-anak kita.
Makan siang gratis bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol kehadiran negara di ruang-ruang paling personal: meja makan sekolah dasar. Kebijakan ini juga menjadi alat untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Bagi anak dari keluarga prasejahtera, makanan gratis bisa menjadi pendorong untuk tetap sekolah dan belajar lebih optimal.
“Makan siang gratis bukan sekadar nasi dan lauk, tapi simbol negara yang hadir membentuk masa depan anak-anaknya,” katanya.
Tantangan di Balik Niat Baik
Namun, seperti yang sering terjadi pada kebijakan publik berskala besar, niat baik saja tidak cukup. Dalam teori public value, ada tiga syarat utama agar sebuah kebijakan bisa benar-benar menciptakan nilai bagi publik: legitimasi politik, kapasitas operasional, dan dukungan masyarakat.
Nah, di sinilah letak tantangan utama dari program makan siang gratis ini:
1. Siapkah Pemerintah Daerah?
Implementasi kebijakan ini akan sangat bergantung pada pemerintah daerah. Dalam sistem desentralisasi seperti Indonesia, kapasitas daerah sangat bervariasi. Tidak semua memiliki SDM, anggaran, atau infrastruktur untuk menyediakan makanan berkualitas setiap hari.
2. Koordinasi Lintas Sektor
Program ini menyentuh banyak sektor: pendidikan, kesehatan, pertanian, UMKM, bahkan logistik. Tanpa koordinasi yang baik, bisa muncul tumpang tindih kewenangan, atau lebih buruk: ketidakefisienan dan pemborosan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas
Publik akan bertanya: berapa anggaran yang digunakan? Siapa yang mengawasi? Apakah makanan benar-benar sampai ke siswa? Semua ini harus dijawab dengan sistem pengawasan yang kuat dan keterlibatan masyarakat.
Program Luar Biasa yang Perlu Dikawal, Bukan Dibatalkan
Program makan siang gratis ini adalah program yang sangat luar biasa. Ia membawa semangat keadilan, keberpihakan pada masa depan generasi muda, dan memperkuat fondasi negara kesejahteraan.
Sudah sepatutnya seluruh komponen masyarakat Indonesia akademisi, tokoh masyarakat, media, hingga dunia usaha bersatu mendukung program ini.
“Jika ada kekurangan dalam pelaksanaannya, maka yang perlu dikritisi adalah proses dan pengelolaannya, bukan esensi dari programnya yang sudah sangat tepat,” lugas Julizar Idris.
Program yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo Subianto ini juga bukan lagi sebatas retorika kampanye. Realisasinya sudah mulai tampak, dan kini tantangan terbesarnya adalah: mampukah birokrasi kita mengelola dan menjalankannya secara profesional, akuntabel, dan berkelanjutan?
Makan siang gratis adalah momen ketika negara benar-benar bisa menyentuh hidup warganya secara langsung. Dan di balik itu, administrasi publik diuji, apakah birokrasi kita siap menciptakan nilai publik, atau justru kembali terjebak pada prosedur dan retorika?
Mari kita kawal bersama. Karena setiap piring yang tersaji di sekolah adalah investasi untuk Indonesia yang lebih sehat, cerdas, dan setara.
(Gede)