Mereka Menjaga Gelombang, Dari Tari Anak Kecil di Perahu Hingga Kapal Perang TNI AL

Jalesveva Jayamahe
Jalesveva Jayamahe

GURINDAM.ID – Di tengah gemuruh sorak penonton, perahu panjang berhias ukiran khas Melayu melesat di Sungai Kuantan, Riau. Pacu Jalur, tradisi mendayung warisan leluhur sejak abad ke-17, bukan sekadar lomba tapi sebuah simbol kebersamaan, spiritualitas, dan semangat juang yang terus hidup hingga kini.

Tahun 2024 dan kini 2025, Pacu Jalur semakin mendunia, bahkan melahirkan fenomena unik “Aura Farming” dari sosok Togak Luan, anak kecil penari di ujung perahu Lancang Kuning.

Gerakannya yang magis diyakini membawa keberuntungan, menjadi viral di media sosial dan menarik perhatian wisatawan mancanegara.

Namun, di balik kemeriahan Pacu Jalur, ada kisah humanis menarik dari penganugerahan gelar adat Melayu Riau kepada Laksamana TNI Muhammad Ali, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Indonesia.

Pacu Jalur Kuantan Singingi Riau
Pacu Jalur Kuantan Singingi Riau

Semboyan “Jalesveva Jayamahe” (di Laut Kita Jaya) bukan sekadar kata-kata bagi TNI AL. Ia adalah filosofi yang menggerakkan setiap prajurit, termasuk Laksamana Muhammad Ali. Pada 5 Juni 2024 yang lalu, pria berbintang empat ini dianugerahi gelar Datuk Seri Segara Utama Setia Wangsa oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR).

Prosesi adat berlangsung khidmat pengangkatan dan penabalan oleh Ketua Majlis Kerapatan Adat LAMR, Datuk Seri H. Marjohan Yusuf. Pemasangan tanjak, keris, dan selempang sebagai simbol kebesaran adat. Tepuk tepung tawar, ritual penyucian yang melibatkan keturunan sultan, tokoh agama, dan pejabat tinggi.

Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Dr. H. Muhammad Ali, S.E., M.M., M.Tr.Opsla
Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Dr. H. Muhammad Ali, S.E., M.M., M.Tr.Opsla

Mengapa seorang perwira tinggi TNI AL mendapat gelar ini?  

Dedikasi Laksamana Muhammad Ali untuk Melayu dan Indonesia sosok Laksamana Muhammad Ali bukanlah orang asing di Riau. Jejak pengabdiannya dimulai sejak menjabat sebagai Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Dumai, kemudian memimpin Koarmada I (Komando Armada Barat). Prestasinya terus menanjak hingga menjadi Kepala Staf Angkatan Laut.

Ada 22 penghargaan bintang jasa dari pemerintah dan TNI yang disematkan padanya. Namun, yang membuat LAMR tergerak memberinya gelar adalah:

1. Kesetiaannya pada laut Nusantara, termasuk menjaga keamanan perairan Melayu dari ancaman narkoba dan kejahatan lintas negara.

2. Kontribusinya pada ekonomi masyarakat, terutama nelayan Dumai yang hidupnya bergantung pada laut.

3. Ikatan keluarga dengan Melayu istrinya, Fera Muhammad Ali, adalah putri asli Tarempa, Kepulauan Riau.

Gelar ini bukan sekadar penghormatan, tapi mengandung filosofi mendalam “Datuk” (dari bahasa Sanskerta) berarti pemimpin yang mulia. “Seri” melambangkan aura positif dan keteladanan. “Segara Utama” (Lautan Utama) mencerminkan kedalaman jiwa dan kekuatan seperti ombak.  “Setia Wangsa” berarti kesetiaan pada bangsa dan negara di atas segalanya.

Jika Pacu Jalur adalah simbol kebersamaan dan semangat juang, maka TNI AL adalah penjaga kedaulatan laut yang memungkinkan tradisi itu tetap hidup. Nelayan bisa melaut dengan aman, budaya terus berkembang, dan generasi muda seperti Togak Luan bisa mewarisi warisan leluhur.

Laksamana Muhammad Ali, sang Datuk Seri Segara Utama, adalah bukti bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya diukur dari pangkat, tapi dari dedikasi pada rakyat dan budaya. Kisah Pacu Jalur dan Laksamana Muhammad Ali mengajarkan satu hal peradaban besar lahir dari laut, dijaga oleh semangat kebersamaan, dan dipimpin oleh orang-orang yang setia pada tanah air.

Di Sungai Kuantan, sorak-sorai Pacu Jalur tetap bergema. Di lautan Nusantara, TNI AL terus berjaga. Dan di antara keduanya, ada humanisme yang menyatukan tradisi, pengabdian, dan cinta pada Indonesia Raya.

(Mlm/gea)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *