Oleh: Mohamad Sinal
GURINDAM.ID – Adakah yang lebih romantis dari rindu yang tak tertahankan? Rindu akan ketenangan, rindu akan kebahagiaan, serta kasih sayang yang Tuhan berikan. Hijrah adalah jawaban terhadap sejumlah rindu yang kita inginkan.
Dalam perspektif Islam, hijrah dimaknai sebagai bentuk perpindahan. Bukan hanya secara geografis, tapi dari gelap menuju terang. Dari kesesatan menuju petunjuk, dari keterasingan menuju cahaya Tuhan.
Dalam banyak tafsir, hijrah tak hanya dimaknai pada gerak geografis yang dilakukan Nabi, dari Mekkah ke Madinah.
Hijrah adalah simbol dari perjalanan eksistensial manusia. Di mana jiwa yang tercerai-berai oleh persoalan duniawi, berusaha kembali menyatu dengan fitrah yang asali.
Martin Heidegger dalam Being and Time berbicara tentang manusia sebagai “Dasein”. Manusia adalah makhluk yang diturunkan ke dunia, yang berada dalam ketegangan antara keterlenaan dan keotentikan.
Dalam pandangan tersebut, hijrah dapat dipahami sebagai transendensi spiritual. Gerakan manusia dari kehidupan yang terjebak dalam rutinitas, menuju kesadaran akan hakikat keberadaan.
Romantisme Hijrah sebagai Sebuah Perjalanan
Manusia modern, dalam segala kemudahan dan kompleksitasnya, kerap kehilangan diri dalam keramaian. Ia hidup dengan wajah yang terus menyesuaikan dengan ekspektasi. Namun yang sering terjadi, kehilangan suara batinnya sendiri.
Hijrah dalam konteks kekinian adalah resistensi terhadap keterasingan. Sebuah ikhtiar untuk menolak menjadi makhluk konsumtif yang dikendalikan oleh algoritma. Selanjutnya, berusaha kembali mengikuti kata hati: menuju cahaya Ilahi.
Dalam narasi populer, hijrah sering kali diasosiasikan dengan perubahan lahiriah. Gaya berpakaian, lingkungan sosial, atau simbol-simbol kesenangan lainnya. Namun dalam dimensi religius, hijrah adalah perjalanan ke dalam.
Hijrah adalah petualangan batin yang menuntut keberanian untuk berdialog dengan diri secara jujur. Berani hijrah adalah berani melepaskan. Bukan hanya melepaskan kebiasaan buruk, tapi juga ego yang melekat di pikiran kita.
Dalam bahasa cinta, Jalaluddin Rumi mengatakan, “Lepaskan dirimu dari dirimu yang sekarang, agar engkau menemukan dirimu yang sejati.” Jadi, hijrah adalah keindahan yang sejati. Keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang ingin mendekat kepada Tuhan.
Di era digital terdapat fenomena, hijrah dikemas sebagai gaya hidup. Dipasarkan dalam konten, dijadikan narasi visual yang dikurasi agar terlihat saleh. Hal tersebut bukan persoalan sederhana, tapi berpotensi mencemari makna spiritual yang sangat mulia.
Ketika hijrah dijadikan panggung popularitas, yang terjadi bukan transformasi jiwa, melainkan adaptasi pada tren. Proses suci ini tergelincir menjadi “performan religius”. Di mana nilai digantikan oleh tampilan, dan keikhlasan dikaburkan oleh “like” dan “subscribe”.
Perubahan secara lahiriah bukanlah sesuatu yang salah. Namun, akan menjadi semu ketika tidak menyentuh ruang batiniah. Dalam Islam, amal bukan hanya apa yang tampak, tetapi niat yang tersembunyi.
Hijrah yang sejati, bukanlah pencitraan, tapi perlawanan senyap terhadap kerak-kerak duniawi yang melekat di dalam hati. Dengan mengubur dalam-dalam, perasaan ingin dipuji. Membuang jauh-jauh segala pujian manusia, hanya berharap rido Allah semata.
Romantisme Hijrah Menuju Kepulangan
Dalam filsafat Islam, manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Bersih, suci, dan siap mengenal Tuhan. Tapi dalam perjalanan, manusia sering tersesat oleh hawa nafsu, ambisi, dan kelalaian.
Hijrah, dalam pengertian yang mendalam, adalah proses kepulangan menuju fitrah. Sebuah kepulangan bukan sekadar menuju tempat, melainkan ke sisi Tuhan. Siapa pun akan kembali ke hadirat Tuhan Yang Maha Suci.
Ibn Arabi menggambarkan hidup sebagai perjalanan dari Tuhan, di dalam Tuhan, dan kembali kepada Tuhan. Dengan demikian, hijrah bukan lari dari dunia. Hijrah adalah cara untuk menghadiri dunia sesuai petunjuk Sang Pencipta.
Hijrah bukan pengingkaran terhadap kenyataan, tapi penjernihan dari segala kepura-puraan. Tujuannya adalah agar manusia bisa menunaikan tugas kekhalifahannya dengan jernih dan tulus. Sebagai wakil Tuhan di bumi, sesuai petunjuk dan perintah dari Ilahi.
Kepulangan dalam hijrah bukanlah titik akhir, tapi gerbang permulaan. Ia seperti pagi, yang datang setelah malam pergi. Ada lembut cahaya yang menuntun, dan hidayah yang selalu turun.
Ada harapan baru yang menyapa. Ada janji, bagi siapa pun yang sungguh-sungguh ingin kembali. Akan selalu dijemput oleh rahmat-Nya, serta rido dan hidayah-Nya.
Hijrah adalah proses menjadi manusia yang utuh. Manusia yang sadar bahwa dirinya rapuh, namun memiliki keyakinan yang teguh. Manusia yang berani mengakui kesalahan, tapi juga berani memperbaikinya.
Manusia yang tahu diri bahwa dunia hanyalah persinggahan. Sedangkan cinta sejati, hanya bisa ditemukan di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, tak ada pulang yang lebih indah kecuali pulang ke diri sendiri, pulang menuju fitrah, pulang ke haribaan Yang Maha Suci dan Mulia.
*Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.