Mohamad Sinal: Menghormati Dua Jalan Menuju Kebenaran

Mohamad Sinal
Mohamad Sinal

GURINDAM.ID – Dikotomi antara sains dan agama, seringkali terjebak dalam pilihan sempit. Harus tunduk pada dalil atau percaya pada data, seolah-olah keduanya adalah musuh abadi. Padahal, baik ahli sains maupun ahli Qur’an dan hadits adalah para pencari kebenaran, meski mereka menempuh jalur yang berbeda.

Keduanya seharusnya mendapatkan tempat yang sama dalam penghormatan sosial dan spiritual. Mereka sama-sama patut “dicium” tangannya. Keduanya telah menempuh perjalanan panjang dalam menggali ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia.

Kita kerap melihat seorang ulama dihormati, dijunjung tinggi, bahkan dicium tangannya. Hal tersebut sebagai simbol penghargaan terhadap ilmunya dan kesalehannya. Namun, jarang kita melihat hal yang sama diberikan kepada para ilmuwan.

Apakah karena ilmuwan dianggap hanya berurusan dengan persoalan duniawi, lantas penghormatannya dipangkas? Apakah karena sains dipandang netral, sehingga tidak perlu mendapatkan apresiasi spiritual? Padahal, kontribusi mereka dalam kemajuan peradaban sama-sama penting.

Inilah letak kesalahan logika yang sering terjadi. Sains diposisikan sebagai “lawan” agama, dan ilmuwan dianggap sebagai “lawan” ulama. Sejatinya, keduanya adalah pintu masuk untuk memahami keagungan Tuhan secara rasional.

Banyak ayat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan mengamati alam. Dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 17-20, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan.

Semua ini adalah seruan untuk mengkaji dan meneliti, yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.

Sayangnya, sebagian umat Islam terlalu memuja ritual dan melupakan intelektualitas. Mereka cenderung hanya menghormati ulama yang fasih berdalil, tetapi kurang memberikan penghormatan yang sama kepada ilmuwan yang tekun meneliti.

Padahal, para ilmuwan yang bekerja dengan integritas dan menghasilkan karya yang bermanfaat, adalah bagian dari golongan yang dicintai Allah.

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Bukankah ilmuwan yang mempersembahkan temuan untuk kesejahteraan umat juga pantas mendapat penghargaan spiritual?

Peradaban Islam klasik telah menunjukkan harmoni antara ulama dan ilmuwan. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Khwarizmi, dan Al-Biruni adalah contoh ilmuwan Muslim yang sekaligus memiliki dasar keislaman yang kuat. Mereka dihormati bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena akhlaknya.

Bahkan dalam sejarahnya, ulama dan ilmuwan duduk bersama, berdiskusi, dan saling menguatkan. Mereka tidak membangun tembok antara sains dan agama. Sebaliknya, mereka membangun jembatan untuk menyatukan keduanya.

Namun kini, sekat-sekat itu semakin menguat. Ilmuwan dianggap terlalu rasional, sementara ulama dianggap terlalu normatif dan tekstual. Inilah yang menjadi masalah besar dalam masyarakat kita.

Jika terus dibiarkan, kita akan kehilangan keseimbangan. Akibatnya, terlalu percaya pada dogma tanpa pembuktian; terlalu percaya pada data tanpa keimanan.

Padahal, keduanya harus jalan berdampingan: ilmu agama dan ilmu sains tidak boleh dipisahkan dari panggung peradaban.

Sudah saatnya kita mendidik generasi muda untuk menghormati dua jalur ilmu ini secara adil. Tangan ulama pantas “dicium” karena ilmunya membawa kita kepada Allah. Tangan ilmuwan pun pantas “dicium” karena ilmunya membantu kita memahami ciptaan Allah.

Bukankah tangan yang mengajar, meneliti, dan memperjuangkan kebenaran sama-sama mulia? Bukankah kejujuran dalam laboratorium sama nilainya dengan kejujuran dalam tafsir? Keduanya tak bisa dipisahkan dalam mencari kebenaran.

Penghormatan yang setara kepada ulama dan ilmuwan tidak hanya soal simbol mencium tangan. Namun, bagaimana kita menempatkan keduanya dalam posisi yang terhormat dalam masyarakat.

Kita tidak boleh memandang ilmuwan sebagai orang yang hanya mengejar dunia, dan memandang ulama sebagai orang yang anti sains.

Kita harus menempatkan kedua profesi ini sebagai penjaga kebenaran dari dua sisi. Yang satu melalui teks suci, sedang yang satunya melalui fenomena alam ini. Keduanya sama-sama melakukan perenungan yang mendalam.

Dengan demikian, masyarakat akan tumbuh dalam keseimbangan berpikir. Mereka tidak akan mudah terjebak pada sikap anti sains, juga pada pemujaan buta terhadap teknologi tanpa etika.

Harmoni antara keduanya akan menciptakan generasi yang beriman dan berpengetahuan, yang mencintai dalil sekaligus menghargai data.

Oleh sebab itu, sudah waktunya kita menurunkan tembok dikotomi itu dan membangun jembatan pemahaman. Kita butuh lebih banyak ulama yang paham sains, dan ilmuwan yang paham agama.

Tangan mereka pantas dicium bersama-sama: tangan yang menulis kitab suci dan rumus ilmiah, yang sama-sama mencari dan menuju pada kebenaran.

Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *