JAKARTA – Kembalinya Arsal Ismail sebagai Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) pasca Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) menuai banyak kritik. Sosok yang dikenal memiliki hubungan dekat dengan pengusaha sekaligus Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, ini dianggap sebagai simbol kuatnya pengaruh oligarki dalam tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Bukan hanya soal kedekatan politik, namun data kinerja keuangan dan catatan hukum Arsal turut menjadi sorotan publik dan pengamat industri.
Pengamat Kebijakan Publik yang juga Praktisi Hukum, Muh Nasrul Arsyad, SE. SH. M.Si, mengungkapkan selama Arsal Ismail menjabat Dirut PT BA, Laba perusahaan plat merah terus anjlok.
Pada kuartal I tahun 2025, PTBA mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 50,5%, dari Rp 791 miliar di kuartal yang sama tahun sebelumnya menjadi hanya Rp 391,5 miliar.
Ironisnya, penurunan itu terjadi di saat pendapatan perusahaan justru naik sebesar 5,8% menjadi Rp 9,96 triliun.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: di mana letak efektivitas manajerial saat margin keuntungan menurun drastis meski pendapatan bertambah? Apakah manajemen Arsal mampu menjaga efisiensi dan kesehatan keuangan perusahaan dalam jangka panjang?

Bayang-Bayang Kasus Korupsi
Arsal juga tak lepas dari catatan hukum. Pada 2024, ia diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Satria Bahana Sarana (SBS), anak usaha PTBA. Kasus ini diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar. Arsal bahkan dihadirkan ke pengadilan untuk memberikan kesaksian dalam persidangan perkara tersebut.
Walau belum ditetapkan sebagai tersangka, fakta ini menimbulkan keraguan atas integritas dan akuntabilitas kepemimpinannya di tubuh BUMN.

Koneksi Politik Dipertanyakan
Sebelum memimpin PTBA, Arsal pernah menduduki posisi penting di beberapa perusahaan tambang yang terafiliasi dengan MNC Group, konglomerasi milik Hary Tanoesoedibjo. Hubungan ini memunculkan dugaan bahwa pengangkatan kembali Arsal lebih didorong oleh koneksi politik dan jejaring bisnis ketimbang hasil kinerja yang objektif.
Pengamat BUMN menyayangkan langkah tersebut. “Dalam situasi di mana BUMN seharusnya bersih dari intervensi politik, penunjukan figur dengan kedekatan politik menjadi kemunduran besar dalam reformasi tata kelola,” ujar Nasrul kepada sejumlah media di Jakarta, Selasa (12/6).
Kembali ke Pola Lama?
Lebih lanjut Nasrul yang juga adalah inisiator Media Online Gurindam.id Gurindam Media Group (GMG) dan Kantor Hukum Gurindam Law Firm itu menyebut, bahwa langkah mempertahankan Arsal dinilai mengulang pola lama di mana posisi strategis diisi oleh individu yang bukan semata-mata karena kompetensi, tetapi karena kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Dalam konteks PTBA sebagai salah satu penghasil penerimaan negara terbesar dari sektor tambang, publik berhak mempertanyakan: apakah BUMN kembali menjadi alat kekuasaan elite?
(Rky/red)