GURINDAM.ID – Di kampung yang sunyi, ia datang tanpa pengumuman. Pendekar itu bernama Angin. Tak membawa senjata, hanya hembusan.
Kadang lembut seperti doa ibu. Kadang garang seperti amarah ayah. Ia tidak memerlukan panggung, tak butuh sorotan.
Tapi ketika datang, ia bisa menggoyang pohon. Menggeser atap, juga bisa merobohkannya. Bahkan memutar arah hidup seorang petani.
Di kota yang penuh lampu, ia datang dengan suara sirine. Pendekar itu bernama hujan. Penampilannya sangat dramatis. Ia tidak pernah datang sendirian.
Selalu membawa petir, kilat, dan berita viral tentang banjir. Setiap kehadirannya diliput media. Ia tampil penuh gaya, bahkan kadang disambut payung bermerk.
Tapi jangan salah, meskipun penampilannya elegan, ia juga bisa melumpuhkan lalu lintas. Bisa menenggelamkan kota. Bisa menghapus janji-janji pejabat yang tertulis di baliho.
Dua Pendekar, Dua Gaya
Angin adalah pendekar kampung. Ia tidak mempunyai jam kerja. Datang sewaktu-waktu seperti nasihat ibu.
Tak terlihat, tapi terasa. Sedangkan hujan adalah pendekar kota. Penuh protokol, penuh efek suara. Tapi yang satu menggugurkan daun-daun ego, yang satunya membasahi aspal kesombongan.
Seringkali kita meremehkan angin, hanya karena ia tak masuk berita. Dianggap sekadar “angin lalu”, padahal dialah yang mengeringkan air mata. Menerbangkan benih-benih harapan.
Sementara kita mengagungkan hujan, hanya karena ia tampil elegan. Terdengar di atap mall dan berita yang selalu viral. Di media apa pun, kita dapat melihat atau membaca.
Dari dua gaya pendekar tersebut, ada pelajaran bisa dirunut. Sering sekali kita lupa, bahwa kekuatan tidak selalu datang dari yang ramai. Kadang yang diam justru paling dahsyat.
Kita kadang mengukur seseorang dari kostum dan tempat tinggalnya. Tapi lupa, bahwa Tuhan tidak menciptakan kasta dalam kekuatan. Tuhan menciptakan waktu dan peran dalam kehidupan.
Angin dan hujan sejatinya tidak bersaing. Keduanya hanya bekerja sesuai tugas masing-masing. Yang satu menghembuskan perubahan, yang satunya mengguyurkan peringatan.
Tapi kitalah yang terlalu tergesah-gesah, sibuk menilai dari tampilan. Padahal, semua hanya kepura-puraan yang ditutupi oleh sejumlah kebohongan. Kekuatan, pengaruh, bahkan jabatan yang dimiliki hanya digunakan untuk membohongi.
Oleh sebab itu, jangan remehkan siapa pun hanya karena ia berasal dari kampung. Hanya karena tidak disorot oleh banyak media. Bisa jadi, angin itulah suatu saat nanti meniupkan jalan keluar dari kesesakan hidup ini.
Selain itu, jangan terlalu bangga dengan hujan yang dielu-elukan kota. Sebab setelah reda, bisa jadi meninggalkan genangan dan kemacetan. Bahkan sejumlah persoalan yang terjadi dalam kehidupan.
Di dunia ini, kadang yang tidak terlihat justru paling menentukan. Oleh karena itu, belajarlah pada angin: hadir tanpa pamer. Belajarlah pada hujan: pergi tanpa sombong. Sebab pada akhirnya, sehebat apa pun pendekar akan kembali ke langit.
Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.