GURINDAM.ID – Mentari belum sepenuhnya bangun ketika Bu Darmi, 54 tahun, melangkah pelan menuju petak sawahnya di Desa Batubi Jaya. Caping anyaman bambu yang sudah kusam oleh terik dan hujan setia menaungi kepala.
Di tangan kanannya, arit besi berkilau samar alat yang lebih tua dari anak bungsunya, tapi masih setia menemani setiap musim panen.
Kaki-kakinya yang pecah-pecah menjejak lumpur sawah yang masih basah oleh embun. Di depannya, hamparan padi menguning berayun-ayun, seakan menyapa “Kami sudah siap, Bu,” ujarnya.

Ini bukan sekadar rutinitas. Ini adalah ritual.
Setiap tegakan padi yang rebah di tangan Bu Darmi adalah cerita panjang tentang kesabaran, tentang benih yang sempat hampir layu di musim kemarau, tentang hujan yang datang terlambat tahun lalu, tentang pupuk yang harganya naik, dan tentang doa-doa yang tak pernah berhenti ditanamkan ke tanah.
“Ngarit itu seperti mengobrol dengan bumi,” katanya suatu hari, sambil menunjuk ke sawah. “Kita potong padinya, tapi kita juga berterima kasih,” ucap bu Darmi.
Hari itu, 9 Mei 2025, bukan hari biasa. Di ujung petak sawah, sekelompok orang berdiri dengan kamera dan catatan.
Salah satunya adalah orang nomor wahid di pulau ini ibu Cen Sui Lan, Bupati Natuna, yang datang bukan sebagai pejabat, melainkan sebagai orang yang ingin mendengar cerita dari tanah.
Sejak Januari, 12 petani di Desa Batubi Jaya bergiliran menjaga 15 hektar sawah ini. Hasilnya? Lima ton padi. Bagi yang tak mengerti, itu sekadar angka. Tapi bagi mereka, itu adalah bukti bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati.
“Ini bukan cuma padi, bu Bupati. Ini darah kami,” kata Pak Rudi, ketua kelompok tani, suaranya bergetar.
Cen Sui Lan mengangguk. Ia tahu betul bahwa di Natuna sebuah pulau di ujung utara Indonesia pertanian bukan sekadar urusan perut. Ini soal harga diri. Soal membuktikan bahwa tanah perbatasan bisa mandiri, bahkan memberi.
“Kita sedang menulis sejarah,” ujar Bupati Cen Sui Lan, matanya menerawang ke hamparan sawah. “Natuna tak hanya kaya ikan. Kita juga bisa menjadi lumbung pangan,” paparnya.
Akar yang Kuat di Tanah Perbatasan
Natuna sering disebut hanya dalam narasi geopolitik soal laut, soal kedaulatan. Tapi hari ini, yang dibicarakan adalah hal yang lebih abadi pangan.
“Kemandirian pangan di perbatasan adalah bentuk ketahanan nasional,” tegas Cen. Ia menjanjikan tiga hal, Jalan tani yang lebih baik, agar hasil panen tak lagi rusak di tengah jalan.
Kedua Irigasi yang menjangkau agar musim kemarau tak lagi menjadi mimpi buruk.
Ketiga Teknologi sederhana, seperti alat pengering gabah tenaga surya, untuk memotong rantai tengkulak.
Tapi yang paling menyentuh adalah rencananya untuk menghubungkan langsung sawah dengan piring makan warga. Hasil panen ini akan disalurkan ke program makanan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah dan keluarga kurang mampu.
“Petani dapat harga adil, rakyat dapat makan sehat. Ini kemenangan untuk semua,” ujarnya.
Di sudut lain, Bu Darmi masih asyik ngarit. Tangannya bergerak lincah, memotong padi dengan gerakan terlatih. Beberapa meter darinya, seorang anak muda dengan kemeja putih mencoba membantu dan gagal.
“Harus pelan, Nak. Padi ini seperti orang kalau dipotong sembarangan, ia sakit,” Bu Darmi tertawa.
Anak muda itu adalah Ridwan, Humas bagian sekretaris daerah yang dikirim untuk mendokumentasikan panen bersama Bupati Cen Sui Lan. “Saya kira jadi petani itu gampang,” akunya.
“Ternyata butuh filosofi sendiri,” terang Ridwan.
Bu Darmi hanya tersenyum. “Kamu lihat itu?” Ia menunjuk ke langit. “Burung-burung itu tahu kapan panen.
Mereka datang tiap tahun, dapat makan, lalu pergi. Tapi kami? Kami harus tetap di sini, menunggu, merawat. Itulah bedanya antara numpang makan dan bertanggung jawab,” katanya.
Musim Baru, Cerita Baru
Ketika matahari mulai tegak, panen pun selesai. Gabah-gabah emas dikumpulkan, diangkut ke tempat pengeringan. Bu Darmi duduk di pinggir sawah, menyeruput teh hangat dari termos usang.
“Dulu, saya petani karena tak ada pilihan. Sekarang, saya bangga,” katanya.
Di kejauhan, Bupati Cen berbincang dengan para petani. Ia tak hanya mendengar keluhan, tapi juga mencatat ide-ide liar, bagaimana kalau sawah ini sekalian jadi wisata edukasi? Bagaimana kalau ekspor beras organik ke Singapura?
Hari itu, di Desa Batubi Jaya, padi bukan sekadar padi. Ia adalah simbol, Kesabaran (seperti Bu Darmi yang menunggu lima bulan), Kolaborasi (petani, pemda, swasta, anak muda), Harapan (bahwa Natuna bisa lebih dari sekadar berita perbatasan)
Dan ketika angin sore mulai berhembus, membawa aroma gabah yang wangi, satu hal terasa jelas, Ini baru awal.
(Riky)