APNI: Tambahan Pendapatan Negara dari Royalti Kobalt: Potensi Hingga US$600 Juta

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey Foto Instagram
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey Foto Instagram

GURINDAM.ID – Kobalt, sebagai mineral ikutan dalam penambangan nikel, memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Pemberian royalti sebesar 2% hingga 5% dapat menjadi sumber tambahan penghasilan negara, meningkatkan kontribusi sektor minerba terhadap pendapatan nasional.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menegaskan bahwa penerapan royalti kobalt dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.

Sayangnya, hingga saat ini, belum ada rumusan harga bijih kobalt yang jelas. Pemerintah baru menerapkan Harga Mineral Acuan (HMA) untuk kobalt, tanpa mekanisme penetapan royalti yang komprehensif.

Meidy memperkirakan, jika kobalt dikenai tarif royalti sesuai ketentuan minerba, Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga US$600 juta.

“Penerimaan royalti dari kobalt saja bisa mencapai sekitar US$600 juta,” kata Meidy, sebagaimana lansir Gurindam id dari nikel.co.id, Sabtu (26/4/2025).

Sayangnya, hingga saat ini belum ada rumusan formula harga bijih kobalt. Diketahui, pemerintah hingga kini baru menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt saja. Dirinya mengatakan, langkah penerapan penyesuaian tarif royalti sektor mineral dan batu bara (minerba) ini mampu menjadi salah satu solusi yang baik.

Menurut dia, dengan menaikkan royalti dengan sistem tarif progresif terhadap mineral logam dasar, pemerintah dapat menerapkan royalti baru terhadap mineral-mineral ikutan yang selama ini belum terpapar tarif minerba.

“Mineral ikutan itu ada berbagai macam, misalnya kobalt, lalu fero [Fe atau besi]. Itu kan ada produknya dan mineral pengikut itu juga punya value. Dia bukan mineral kotor, tetapi punya nilai seperti kobalt yang bisa diolah sebagai bahan baku prekursor katode untuk baterai NMC (nickel cobalt manganese),” terangnya.

Pada Rabu, London Metal Exchange (LME) memperdagangkan kobalt di harga US$29.210/ton. Harga ini naik 5,26%. Sebelumnya harga berada di US$16.493/ton atau berbanding 0,35%.

Ditjen Minerba mengusulkan agar kobalt dikenai iuran royalti single tariff sebesar 1,5% dan kobalt ikutan nickel matte dikenai royalti single tariff 2%. Meidy menilai usulan tersebut belum mencakup formulasi harga bijih kobalt, sehingga penerapan royaltinya berpotensi rancu.

“Misalnya begini, saya menjual bijih nikel (kadar 1,5%) dengan HMA US$30/ton. Namun, di situ ada kandungan kobaltnya 0,1%. Nah, itu formulasi perhitungan (harga kobalt ikutan untuk menentukan royalti) bagaimana? Karena HMA kobalt ada, tetapi kan selama ini belum ada transaksinya,” katanya.

“Kalau itu diperhitungkan, akan ada potensi penambahan penerimaan negara kan. Negara bisa mendapatkan duit, tetapi tidak dengan menekan perusahaan atau pengusaha. Fair gitu loh. Kalau membebani perusahaan, nanti tidak ada lagi yang mau produksi,” ujarnya.

Sekadar catatan, realisasi setoran PNBP dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang 2024 anjlok 10% secara year on year (yoy) menjadi Rp269,5 triliun.Meski demikian, realisasi tersebut masih melampaui atau 115% dari target yang dicanangkan tahun lalu sebesar 234,2 triliun.

Subsektor minerba atau pertambangan berkontribusi paling besar dengan setoran PNBP mencapai Rp140,5 triliun atau menyumbang 46,79%.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada bulan lalu tidak menampik penurunan PNBP tersebut dipengaruhi oleh sektor minerba akibat harga komoditas global yang sedang menurun.

Sumber Nikel.co.id/grd

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *